Surabaya (Trigger.id) – Menjelang ramadhan permintaan protein hewani biasanya cenderung meningkat dan berdampak pada kenaikan harga akibat terbatasnya barang. Ketika situasi demikian, memberi peluang kepada oknum berbuat curang dengan menjual daging sapi gelonggongan.
Guru Besar Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Unair, Prof Dr Mustofa Helmi Effendi drh DTAPH mengatakan penyediaan daging gelonggongan merupakan salah satu bentuk pelanggaran animal welfare yang sangat merugikan pembeli.
Alasannya, penggelonggongan daging, oknum akan memasukkan air sebanyak-banyaknya pada sapi hidup untuk menambah berat daging saat penjualan. Hewan. Sapi biasanya sulit berdiri. “Sapi dengan kondisi sulit berdiri akibat penekanan sistem otot hingga hanya bisa terbaring. Inilah yang menjadi alibi peternak untuk segera menyembelih hewannya,” urai Prof Mustofa Helmi Effendi dikutip dari laman resmi news.unair.ac.id
Prof Mustofa memberi tips untuk mengetahui ciri daging gelonggongan dengan melihat secara fisik melalui rembesan air dari daging yang cukup banyak. Bila disentuh, tekstur daging terasa lebih lembek dan warnanya lebih pucat. “Biasanya dalam 1 kilogram daging sapi gelonggongan, terdapat kandungan 300 gram air di dalamnya. Ini sangat merugikan konsumen,” ujar Prof Mustofa.
Bila ingin membeli daging hendaknya memilih daging yang dipajang dengan menggantung karena air akan keluar dari daging. “ Hindari daging yang di taruh di meja,” sarannya. Prof Mustofa berharap ada pelatihan pada peternak, dokter muda dan masyarakat dalam mengidentifikasi kondisi sapi yang dilakukan penggelonggongan.Harapannya, bisa mengetahui indikator yang dapat ditetapkan secara hukum sebagai tindak pidana upaya penggelonggongan sapi, “Stakeholder juga harus terus memberikan edukasi kepada masyarakat agar konsumen dapat terhindar dari kerugian pembelian daging gelonggongan.
Tugas akademisi harus melakukan sosialisasi, memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat dalam mengetahui fungsi teknik hanging (penggantungan daging),” pungkas Prof Mustofa. (kai)
Tinggalkan Balasan