
“……, bahwa ruang baca publik termasuk ‘benda mahal’ di Indonesia.”
Oleh: Isa Anshori (Pempred Trigger.id)

Saat berselancar di dunia maya, tertarik dengan tulisan C. Andika S – jurnalis dw.com. “Cuma Perlu Satu Buku untuk Jatuh Cinta pada Membaca”. Sesederhana itu sebenarnya untuk memulai jatuh cinta pada membaca. Sebagian orang mungkin setuju, tetapi bagi sebagian yang lain, rasanya mereka masih menyimpan seribu alasan untuk membuka buku dan mulai membacanya.
Adagium ‘Buku adalah jendela dunia’, hampir semua pernah mendengar atau membacanya meskipun hanya selintas. Faktanya kalimat tersebut hanya pemanis belaka, ketika ada acara-acara seremonial tentang gerakan membaca. Semangat 45 muncul pasca acara tersebut. Artinya setelah 4-5 hari acara selesai, selesai juga semangatnya.
Tidak jarang kita melakukan aktivitas membaca hanya untuk “iseng” saja. Iseng karena mungkin sedang menunggu, sedang jenuh dan bosan atau alasan lainnya. Membaca yang hanya sekilas saja, kemudian kita lupa setelahnya karena memang tidak diniatkan untuk benar-benar membaca.
Aktifitas membaca tersebut hanya untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan untuk mengisi waktu (to full time) dengan sengaja. Artinya aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan tetapi lebih kepada kegiatan ’iseng’ saja. Aktifitas membaca pun belum menjadi prioritas yang masuk dalam to do list harian disertai dengan target baca.
Selain itu, belum semua orang merasa mempunyai waktu atau bersedia memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca. Padahal, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung atau kota besar lainnya, saat ini sudah mulai berbenah. Kota-kota tersebut terlihat lebih ramah pejalan kaki dan memiliki beberapa pojok baca atau taman baca.
Seberapa penting ruang baca publik tersebut. Akankah efektif untuk meningkatkan minat baca?. Mengutip dw.com, Kustin Ayu, co-founder komunitas KumpulBaca mengungkapkan bahwa ruang baca publik termasuk ‘benda mahal’ di Indonesia. Dengan demikian, semakin banyak ruang baca publik, semakin baik untuk mendorong orang semangat membaca.
Tingkat literasi masyarakat memiliki kaitan erat terhadap kualitas bangsa. Tolak ukur kemajuan serta peradaban suatu bangsa adalah budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya.
UNESCO menyatakan dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang memiliki minat baca. Indeksi minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku setiap tahun. Berbeda dengan warga negara Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku setahun, sedangkan warga Jepang 10-15 buku setahun. Hal ini mengkonfirmasi bahwa literasi masih termarjinalkan di negara kita.
Menurut Gol A Gong – Duta Baca Indonesia, kesuksesan orang dimulai dari kegemarannya membaca. “Sesorang bisa sukses bahagia berawal dari kegemarannya membaca buku. Oleh karena itu, Gol A Gong berpesan jangan pernah meninggalkan buku, karena perkembangan teknologi dan zaman sekarang sangat maju dengan pesat Jika tidak mau membaca, maka seseorang akan tertinggal dengan kemajuan teknologi dan zaman.
Tidak salah memang orang membeli banyak buku, meskipun baru sebatas hanya sebagai hiasan rumah atau kantor mereka. Itu masih lebih baik daripada selama hidup hanya memiliki angan-angan saja untuk membeli buku namun kenyataannya tidak pernah terwujud.
Untuk menjadi pembaca buku memang tidak harus mengoleksi banyak buku terlebih dulu. Satu buku bisa menjadi jembatan untuk jatuh cinta pada membaca buku.
Tinggalkan Balasan