

Sebagai orang tua siswa, kadang kita dalam posisi dilema. Di satu sisi, seorang anak membutuhkan karyawisata yang dapat menopang aktivitas pendidikannya di bangku sekolah. Di sisi lain, berulangnya “musibah” yang akhir-akhir ini menimpa kegiatan mereka, membuat kita ragu untuk mengizinkan turut serta. Pro-kontra selalu muncul, saat peristiwa nahas terjadi. Tidak lama kemudian, publik sudah “melupakannya”. Namun karyawisata yang mengalami petaka selalu berulang dan berulang lagi, seolah sudah dianggap takdir atas suatu “musibah”.
Sabtu, 1 Februari 2025 terjadi kecelakaan lalulintas (KLL) di Tol Purwodadi-Pasuruan, dari arah Surabaya menuju Malang. “Musibah” kecelakaan tunggal tersebut, mestinya berpotensi dapat dicegah. Pasalnya sopir bus sudah berusia 60 tahun. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, menyatakan umur 60 tahun ke atas dikategorikan sebagai lansia. Fase tersebut dipandang bukan usia ideal bagi seorang pengemudi bus antar kota. Mengacu pada aturan perekrutan sopir bus TransJakarta, persyaratan usia adalah 26-46 tahun. Pertimbangan utamanya menitikberatkan pada fisik yang prima, sehingga fokus dalam mengemudi. Ada kriteria pembanding lain. Rentang usia ideal bagi seorang pengemudi mobil (bukan bus), adalah antara 17-60 tahun. Pedoman itu merujuk pada Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI).
Dari perspektif medis, mayoritas lansia telah memiliki berbagai risiko yang bisa menjadi kendala mengemudikan kendaraan. Contoh klasik yang tersering misalnya soal gangguan penglihatan (kelainan refraksi mata), menurunnya pendengaran, hipertensi, diabetes, dan gangguan kardiovaskuler. Tidak jarang terjadi, mereka mulai mengalami demensia, tremor, bahkan gangguan konsentrasi, ataupun penyakit-penyakit lainnya.
Kelayakan bus merupakan salah satu sumber malapetaka di jalan raya. Belum diketahui dengan pasti, bagaimana kelayakan bus milik suatu instansi yang mengalami nahas tersebut ? Apakah peraturan mengizinkan bus operasional kedinasan, dipergunakan di luar instansinya untuk tujuan karyawisata ? Bagaimana pula bentuk santunannya bila terlibat KLL ? Dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) RI No. 117 Tahun 2018, tidak menyebutkannya secara spesifik. Permenhub tersebut membahas tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Masih segar dalam ingatan masyarakat, KLL yang juga melibatkan pelajar. Bus pariwisata yang membawa rombongan sekolah dari Bali, menabrak sejumlah kendaraan lain. Kejadian di Batu 8 Januari 2025, berakibat empat nyawa melayang. Bus yang mengalami rem blong adalah penyebabnya. Peristiwa tragis serupa, juga menimpa rombongan siswa SMK Lingga Kencana Depok. Kecelakaan maut 11 Mei 2024 yang lalu, menewaskan 11 orang.
Momen mengenaskan juga menimpa pelajar dari Mojokerto. Kali ini masalahnya bukan karena bus yang mereka tumpangi. Belasan siswa tergulung ombak di pantai Drini Gunungkidul-Yogyakarta. Empat orang meninggal dunia. Sisanya dapat diselamatkan. Meski sedang dalam proses penyelidikan, mestinya kejadian tersebut berpotensi dapat dicegah. Ada kesan penanggung jawab acara outing class, kurang memahami situasi lapangan. Ombak laut pantai selatan sudah dikenal dengan arus kuatnya (rip current/”boleran”). Rambu-rambu bahaya dan peringatan, tampaknya tidak mampu mencegah hasrat pelajar SMP bermandi air laut. Suatu keniscayaan jika seusia mereka belum mampu menakar risiko yang mungkin terjadi. Bisa jadi belum memiliki literasi yang cukup, untuk mengenali sisi bahaya destinasi wisata yang mereka tuju. Apalagi untuk memahami peringatan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) terhadap risiko terjadinya bencana.
Prosedur standar operasional (PSO) karyawisata
Pada dasarnya karyawisata mengandung unsur rekreasi, tetapi juga memiliki ranah edukasi. Idealnya pendidikan melalui bangku sekolah, perlu dilengkapi dengan pengetahuan luar sekolah. Banyak manfaat yang bisa didapatkan. Targetnya antara lain dapat meningkatkan kecerdasan dan kreativitas, serta mengembangkan keterampilan antar siswa. Namun di sisi lain, berpotensi meningkatkan biaya pengeluaran keluarga. Umumnya obyek karyawisata tujuannya seputar perkebunan, kebun binatang, tempat penangkaran hewan langka, pusat-pusat penelitian-budaya, museum, dan sebagainya.
Apabila timbul ekses negatif (misalnya kecelakaan), terjadilah pro-kontra di ruang publik. Tanpa pertimbangan matang, sering kali Dinas Pendidikan atau pemangku kepentingan setempat, mengeluarkan larangan karyawisata. Terutama untuk tujuan ke luar kota.
Sebaiknya karyawisata tetap diizinkan. Namun harus menerapkan suatu regulasi, guna menekan risiko buruk yang mungkin bisa terjadi. Sejauh pengetahuan penulis, belum ada PSO baku yang dapat menavigasi giat karyawisata pelajar.
Harusnya giat karyawisata telah mendapat izin dari Dinas Pendidikan setempat, melalui surat keputusan (SK). Akan lebih tepat bila tujuan karyawisata mengakomodasi usul siswa dan orang tuanya, tidak hanya atas inisiatif guru pembimbing. Dalam SK harus disebutkan jumlah peserta, pembimbing, dan panduan lengkap (menyangkut tata tertib, sarana, kelayakan alat transportasi, kelengkapan siswa).
Prinsipnya semua peserta harus tetap dalam pengawasan/pandangan mata pembimbing. Mestinya koordinasi dilakukan dengan instansi terkait lainnya, terutama untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan