
Surabaya (Trigger.id) – Di tengah situasi genting seperti konflik bersenjata Israel-Iran, tekanan emosional bukan hanya datang dari ancaman luar seperti sirene atau ledakan, tetapi juga dari dalam rumah—tempat yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Sejak perang melawan Iran dimulai, banyak pasangan di Israel mengalami ketegangan luar biasa dalam hubungan mereka. Bukan hanya pasangan di wilayah perbatasan yang terdampak, namun hampir setiap rumah tangga ikut merasakan guncangan emosional.
Roni Rokach, terapis pasangan dan keluarga menyatakan, masalah yang muncul bukan hanya pertengkaran atau rasa jenuh. Anak-anak menunjukkan reaksi ekstrem: menarik diri atau meluapkan emosi. Sementara pasangan hidup mulai kehilangan koneksi satu sama lain. Perasaan lelah, kewalahan, dan tidak aman menjalar diam-diam, sering kali tanpa disadari. Namun dalam dunia psikologi, reaksi ini adalah mekanisme bertahan hidup yang wajar. Menarik diri, marah, atau mengambil alih semua tanggung jawab bukanlah tanda tidak peduli—melainkan bentuk perlindungan diri.
Agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman emosional yang bisa berujung pada perceraian atau keretakan rumah tangga, ada enam langkah sederhana namun berdampak besar yang bisa dilakukan untuk memperkuat ikatan di tengah badai.
1. Kenali dan Ucapkan Perasaan Anda
Mengatakan, “Saya lelah,” “Saya takut,” atau “Saya tidak bisa tidur” bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keintiman emosional. Mengungkapkan perasaan secara jujur membantu mengurangi tekanan internal dan membangun kedekatan, baik dengan pasangan maupun anak-anak.
2. Berhenti Sejenak dan Tanggapi dengan Sadar
Di tengah tekanan, mudah bagi seseorang untuk bereaksi spontan karena amarah atau kecemasan. Memberi diri sendiri jeda sejenak—untuk bernapas dan memilih respons yang sesuai nilai, bukan sekadar emosi—adalah kunci menjaga komunikasi tetap sehat.
3. Bangun ‘Jangkar Emosional’
Rutinitas kecil seperti pelukan pagi, obrolan malam, lagu pengantar tidur, atau waktu makan bersama bukan sekadar kebiasaan—melainkan titik tumpu emosional yang menstabilkan keluarga di tengah ketidakpastian.
4. Berikan Ruang Aman dalam Hubungan
Menarik diri atau mengasingkan diri bukan selalu berarti penolakan. Terkadang, itu adalah cara alami untuk memproses tekanan. Biarkan pasangan atau anak mengambil ruang tanpa dihakimi. Tetap hadir dan terbuka adalah bentuk kasih yang kuat.
5. Bicara Terbuka tentang Penggunaan Zat Adiktif
Dalam masa krisis, peningkatan penggunaan alkohol, ganja, atau obat-obatan sering terjadi sebagai bentuk pelarian. Ketika ini muncul dalam keluarga, diam bukanlah solusi. Justru perlu dibicarakan secara terbuka dan empatik: “Aku khawatir. Aku melihat ini. Aku di sini untukmu.” Jika diperlukan, cari bantuan profesional bersama.
6. Temukan Makna di Tengah Kesulitan
Keluarga yang mampu bertahan bukan berarti tidak menghadapi masalah, tetapi mereka menemukan nilai dalam perjuangan itu. Menumbuhkan rasa saling menjaga, empati, dan kebersamaan akan memperkuat ikatan dan memberikan tujuan emosional dalam menghadapi situasi sulit.
Di tengah perang atau masa krisis apa pun, kita mungkin tak bisa mengendalikan keadaan eksternal. Namun, kita masih punya kendali penuh atas bagaimana kita memperlakukan orang-orang terdekat. Satu pelukan lagi, satu percakapan yang jujur, satu kalimat “Kamu baik-baik saja?” bisa menjadi perlindungan emosional yang kuat. Hubungan yang sehat di rumah bukan hanya menopang jiwa—tetapi juga menjadi benteng pertahanan terbaik dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian. (bin)
Sumber: JPost
Tinggalkan Balasan