

Baru-baru ini, jagat media sosial kembali dipenuhi kegelisahan kolektif setelah beredarnya video ribuan orang berdesak-desakan dalam sebuah acara job fair di Bekasi. Pemandangan yang semestinya penuh harapan justru berubah menjadi simbol kepanikan sosial. Acara yang menyediakan 2.000 lowongan itu justru diserbu oleh sekitar 25.000 pencari kerja. Suasana pun tak terkendali. Aksi saling dorong, kericuhan, bahkan ada yang pingsan.
Ini fenomena menarik. Bukan sekadar masalah teknis penyelenggaraan acara. Tetapi cermin dari kedalaman dan keseriusan krisis ketenagakerjaan di negeri ini. Jika satu kabupaten bisa menghadirkan puluhan ribu pelamar untuk dua ribu kursi kerja, bagaimana dengan kota-kota lain? Provinsi lain? Indonesia secara keseluruhan?
Ijazah dan Lulusan Terbaik Bukan Jaminan
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang. Ironisnya, jumlah pengangguran dari kalangan terdidik (lulusan D3 dan S1) justru terus meningkat. Fakta ini menciptakan realitas baru: ijazah tak lagi menjamin pekerjaan, apalagi kesejahteraan.
Jika gelar sarjana dari universitas ternama tak menjamin akses terhadap lapangan kerja, bagaimana dengan mereka yang tidak sempat mengenyam bangku kuliah? Mereka yang hanya lulusan SMA atau bahkan putus sekolah? Bukankah ini artinya peluang telah menjadi barang mewah?
Lebih parah lagi, sepanjang Januari hingga Mei 2025, tercatat sekitar 70 ribu pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketika angka pengangguran membengkak, PHK makin menjadi, dan kesempatan kerja semakin sempit, kita sedang berada di ujung simpul krisis sosial yang bisa menjalar ke mana-mana: kriminalitas, bunuh diri, penipuan, hingga jeratan utang digital.
Negara Harus Hadir, Jangan Hanya Janji
Situasi ini bukan bisa diatasi hanya dengan semangat bertahan atau saran “lebih kreatif saja.” Kita butuh intervensi sistemik dan keberpihakan kebijakan. Negara harus hadir lebih kuat, bukan dengan program seremonial, tetapi dengan kebijakan struktural yang menjawab akar masalah.
Program seperti Kartu Prakerja yang sudah diluncurkan sejak masa pemerintahan sebelumnya, meskipun membawa niat baik, belum terlihat signifikan menurunkan angka pengangguran. Evaluasi menyeluruh, revisi pendekatan, dan penguatan outcome-nya perlu dilakukan. Pelatihan tanpa penempatan kerja hanyalah pepesan kosong.
Negara tidak bisa lepas tangan, apalagi melempar beban pada rakyat agar “lebih tangguh” menghadapi dunia kerja. Ekonomi digital, industri kreatif, dan kewirausahaan digital memang berkembang, tapi tidak semua warga punya akses yang merata, keterampilan yang cukup, atau jaringan yang mendukung. Jika tidak ditopang dengan ekosistem yang adil, gagasan ini hanya akan menciptakan elit digital baru di atas kemiskinan massal.
Dorong Investasi Bernilai Tambah dan Merata
Kebijakan investasi juga perlu diarahkan untuk membuka lapangan kerja padat karya dan berkelanjutan, bukan sekadar membuka ruang eksploitasi tenaga murah. Investasi harus berdampak langsung pada rakyat bawah, bukan hanya pertumbuhan angka-angka di grafik ekonomi.
Kita juga perlu reorientasi pendidikan tinggi dan vokasi, agar lebih terhubung dengan kebutuhan zaman. Namun lebih dari itu, perlu ada distribusi pembangunan yang lebih merata agar peluang tidak hanya terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu.
Seruan bagi Pemerintah dan Kita Semua
Kami di ICMI percaya bahwa solusi terhadap krisis pengangguran bukan hanya terletak pada satu aktor, tetapi kolaborasi multi pihak. Namun, pemerintah tetap memegang peran sentral sebagai pengarah arah pembangunan dan pembuka jalan. Tanpa kehadiran negara yang tegas dan visioner, rakyat akan dibiarkan sendirian bertarung di tengah hutan kompetisi yang semakin kejam.
Namun demikian, setiap individu juga perlu mulai menyadari bahwa ijazah saja tidak cukup. Dunia berubah, dan kita pun harus mengembangkan keterampilan baru, jaringan baru, dan cara berpikir baru. Di luar kelas, ada banyak ilmu yang menunggu dipelajari, dan dunia digital bisa menjadi ladang subur bila dikelola dengan cerdas.
Tetapi, yang pasti: ketahanan individu tidak akan cukup tanpa keberpihakan kebijakan. Dan harapan rakyat hari ini masih berpijak pada satu nama: pemerintah.
—000—
*Ketua ICMI Jawa Timur
Tinggalkan Balasan