
Surabaya (Trigger.id) – João Gilberto Prado Pereira de Oliveira, lebih dikenal dengan nama João Gilberto, lahir di tanah yang tandus di timur laut Brasil. Ia mulai dikenal sebagai penyanyi pada era 1950. Jauh sebelum itu, Gilberto hanyalah seorang anak yang lahir di Bahia, sebuah kawasan paling miskin di Brasil.
Dalam laporan The Economist, Gilberto diceritakan seringkali menghabiskan berbulan-bulan waktunya untuk bermain gitar. Aksinya itu tak dilakukan di rumahnya sendiri, melainkan di kamar tidur rumah saudarinya.
Gilberto memang begitu terobsesi menciptakan cara baru dalam memetik gitar. Ia tergila-gila pada Frank Sinatra, penyanyi jazz kondang asal AS. Segala cara dia tempuh untuk menjadi ‘sesempurna’ Sinatra. Caranya, dengan belajar secara otodidak.
Dari hasil ketekunan bermain gitar, Gilberto lantas menemukan formula baru dalam gaya bermusik. Gaya itu ia sebut sebagai Bossa Nova. Seni memunculkan ritme yang singkat, ditambah akord (kumpulan tiga nada) yang kompleks. Serta diiringi dengan gaya bernyayi yang lembut.
Bossa Nova adalah perpaduan antara musik tradisional Brasil, samba, dengan aliran musik jazz.
Kala Gilberto tengah naik daun, ia mulai dekat dengan Antônio Carlos Jobim. Perkenalan pertama mereka terjadi pada 1957 di Rio de Jeneiro. Jobim sendiri bukan orang sembarangan. Saat itu, Ia adalah musisi sekaligus direktur label rekaman bernama Odeon Records.
Menurut Jobim, Gilberto adalah sosok musisi yang berbakat. Bahkan, ia punya ide untuk menggunakan irama gitar Alberto untuk lagunya yang belum selesai, yaitu ‘Chega de Saudade’.
Dari segi penghasilan, ‘Chega de Saudade’ memang tak begitu istimewa. Namun, berkat lagu itu, Brasil memiliki sebuah gaya bermusik baru yakni Bossa Nova.
‘The Girl of Ipanema‘ yang Melegenda
Di tahun 1962, Gilberto menelurkan sebuah album ‘Getz/Gilberto’ bersama istrinya saat itu, Astrud Gilberto, Stan Getz, dan Jobim. Kala itu, album tersebut menjadi salah satu album jazz terlaris sepanjang masa. Sejarah mencatat bahwa album itu terjual terjual lebih dari dua juta copy di 1964.
Sebelum menelurkan album ‘Getz/Gilberto’ , Gilberto telah menghasilkan tidak kurang dari 13 album yang direkam sejak tahun 1951 hingga 1962.
Kesuksesan itu juga membawa pulang piala Grammy untuk Album of the Year, sebagai album non-Amerika pertama dengan pencapaian fantastis. Album itu juga memenangkan Jazz Album of the Year, dan status Grammy Hall of Fame.
Salah satu lagu dalam album tersebut adalah ‘The Girl of Ipanema’ (Garota De Ipanema). Sebuah lagu yang berhasil menempati peringkat ke-5 di Billboard Hot 100. Wall Street Journal meyakini lagu itu sebagai sebagai lagu kedua paling banyak direkam dalam sejarah setelah lagu ‘Yesterday’ milik The Beatles
Dalam sebuah esai berjudul Bossa Nova and Hope in Brazil, Mitch Huber, Heather Brown, Rebecca Roche, dan Jacob Murillo sepakat bahwa Bossa Nova adalah penanda dari modernitas di Brasil. Ia adalah simbol kemapanan, kosmopolitanisme, serta perlawanan terhadap kolonialisme.
Tak heran, Gilberto dicintai lantaran dianggap membawa optimisme kepada masyarakat Brasil. Musik Bossa Nova adalah cerita tentang harapan, cinta, dan keindahan. Semua bergembira di atas Bossa Nova racikan Gilberto.
Menariknya, masyarakat AS pun turut menggandrungi Bossa Nova. Di era 1960-an, tepatnya sebelum grup musik asal Inggris, The Beatles, menginjakkan kakinya, Bossa Nova jauh lebih dulu tiba. Hal itu lantaran undangan seorang presenter legendaris bernama Ed Sullivan yang mengundang Gilberto.
Selama berkarier. Joao Gilberto telah berhasil merekam 38 album. Album pertama tahun 1951, Quando Você Recordar/Amar é Bom dan album terakhir tahun 2016 bertajuk Getz/Gilberto 76.
Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times pada 1968, Gilberto menyebut gaya bernyanyinya adalah seni mengungkapkan isi hati. Ibaratnya, kata dia, bernyanyi adalah menulis di atas lembar kosong.
“Ketika saya bernyanyi, saya memikirkan ruang terbuka yang cerah. Tentu, saya akan bernyanyi di dalamnya,” kata Gilberto. (kai/ian)
Referensi: Berbagai sumber
Tinggalkan Balasan