
“Dzikir diri pada setiap orang tersebut berbeda. Mau dilihat dari kacamata pragmatis atau mau jawaban yang lebih mendalam”.
Oleh Emha Ainun Najib

Dzikir diri itu jika dilihat dari sudut ilmu keluasan dan ketinggian memiliki makna tersendiri. Sementara kita sebagai manusia ini ada yang terdiri dari diri sejati dan diri artifisial. Diri kita ini adalah diri yang artifisial atau diri yang dibikin oleh Allah.
Jadi jika manusia itu sadar diri bahwa dirinya itu ciptaan Allah, maka dia harus menyadari pada dirinya itu merupakan pengejawantahan Allah atau irodat Allah, amrullah, ahlakullah dan seterusnya.
Tetapi betapa sulitnya manusia yang merupakan ciptaan Allah tetapi perilakunya, perkataannya dan seterusnya hanya dengan pedoman-pedoman dari dari Allah.
Karena itu dalam konteks dzikir diri, kita perlu jawaban yang pragmatis atau yang sederhana dan bisa diterima manusia. Sebagai manusia kita jangan melampaui batas diri sebagai mahluk ciptaanNya. Bahwa tidak mungkin kita mengingat Allah dengan cara-cara yang kita sendiri sebagai manusia tidak bisa menjangkaunya.
Kalau kita merasa bahwa diri kita ini ciptaan Allah dan diciptakan sebagai pemimpin di bumi ini untuk membangun dan menata kehidupan, maka kita harus selalu berbuat baik dan selalu berusaha mengajak kebaikan, serta disaat yang sama juga menghalangi terjadinya keburukan atau kemungkaran,
Karenanya, yang tepat adalah kita sebagai manusia harus mendzikirkan diri kita sebagai manusia dan bukan dzikir untuk mengingat Allah saja. Meskipun kita ini adalah wakil dari subyeknya Allah di muka bumi, karena Allah telah memberikan otak dan hati yang bisa membedakan baik dan buruk, kita sebagai manusia adalah subyek kehidupan yang harus bertanggungjawab pada apa yang kita lakukan sendiri.
Maka makna dzikir diri yang tepat adalah kita sebagai manusia tidak pernah tidak waspada untuk selalu angon (memelihara dan menjaga) diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri.
Editor : Isa Anshori
Tinggalkan Balasan