
Surabaya (Trigger.id) – Para ahli mengaitkan keputusan perempuan usia subur di Indonesia untuk memilih tidak ingin memiliki anak (childfree) dengan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan psikologis. Beberapa di antaranya adalah tingginya biaya pengasuhan anak, tekanan ekonomi, perubahan gaya hidup modern, dan peningkatan tingkat pendidikan.
Perempuan dengan pendidikan tinggi cenderung menunda atau menolak memiliki anak karena fokus pada karier dan kualitas hidup. Di sisi lain, perempuan dari latar belakang ekonomi rendah sering kali menghadapi kendala finansial sebagai alasan utama. Fenomena ini juga menunjukkan pergeseran nilai-nilai tradisional dalam masyarakat
Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimuat hypeabis.id, mencatat, sebanyak 71.000 perempuan usia subur di Indonesia telah memilih untuk hidup childfree atau tidak memiliki anak. Keputusan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti biaya tinggi dalam pengasuhan anak, tekanan ekonomi, dan modernisasi pola pikir, terutama di wilayah perkotaan.
Pendidikan juga berperan penting, dengan perempuan berpendidikan tinggi lebih sering memilih childfree. Namun, keputusan ini tidak terbatas pada mereka dengan latar pendidikan tinggi, karena faktor ekonomi juga menjadi alasan signifikan, khususnya bagi mereka yang berpendidikan lebih rendah.
Tren ini mungkin meningkat, sejalan dengan perubahan sosial dan ekonomi di masyarakat. Namun, hal ini dapat memunculkan tantangan baru, seperti kesiapan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada individu childfree di masa tua.
Keputusan perempuan untuk memilih childfree sering kali mencakup pertimbangan mengenai masa depan, termasuk potensi kesepian di usia lanjut. Sebagian besar dari mereka mungkin merasa bahwa jaminan sosial, jaringan pertemanan, atau dukungan komunitas dapat menggantikan peran anak sebagai pendukung di masa tua.
Namun, ahli psikologi mengingatkan pentingnya refleksi mendalam. Keputusan ini perlu didasarkan pada pemahaman jangka panjang, tidak hanya tren atau kondisi saat ini, karena masa tua tanpa anak bisa menghadirkan tantangan emosional dan sosial yang memerlukan persiapan matang.
Sebagian besar masyarakat berpandangan, bahwa memilih untuk menghindari peran ibu sangat kontradiktif dengan pandangan tradisional masyarakat yang meyakini bahwa fungsi sosial perempuan adalah pengasuhan anak. Reaksi ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh warisan imajinasi Ibuisme Negara yang tercipta pada rezim Orde Baru dan masih mengakar kuat hingga sekarang.
Merujuk catatan Julia Suryakusumah, aktivis dan penulis perempuan, dalam laman magdalene.co, meskipun rezim tersebut sudah berakhir dua dekade lalu, ekspektasi gender ini tetap berlanjut dan memengaruhi persepsi publik, khususnya bagi kalangan yang masih memegang teguh nilai-nilai konvensional. Dalam kerangka tradisional ini, kontribusi perempuan terhadap masyarakat diukur melalui partisipasi mereka dalam reproduksi dan pengasuhan. Oleh karena itu, gagasan anak muda dalam memilih untuk tidak memiliki anak dianggap sebagai penolakan dari identitas budaya dan tanggung jawab keluarga. (bin)
Tinggalkan Balasan