

Clay Shirky, seorang pakar komunikasi dan internet, menyebutkan bahwa media digital telah memberi pemuda kekuatan untuk berpartisipasi langsung dalam politik tanpa harus bergantung pada institusi tradisional.
Dengan penetrasi media sosial juga memungkinkan pemuda untuk mengorganisasi kampanye, menyebarkan informasi, dan berpartisipasi dalam advokasi politik dengan cepat dan masif.
Sementara Manuel Castells, seorang sosiolog, menyatakan bahwa media digital menciptakan ruang publik baru yang disebut “network society.” Dalam ruang ini, pemuda mampu berinteraksi, membentuk gerakan sosial, dan bahkan menggulingkan rezim otoriter, tanpa perlu bergantung pada media konvensional.
Howard Rheingold, dalam bukunya Smart Mobs, mengemukakan bahwa teknologi digital memungkinkan pemuda untuk menjadi agen perubahan politik. Media digital memberi mereka platform untuk menyuarakan isu-isu seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan lingkungan, yang sering kali tidak mendapat perhatian dalam wacana politik tradisional.
Pemuda menggunakan media digital untuk mengorganisasi diri lebih efektif daripada generasi sebelumnya. Namun, dia juga mengingatkan bahwa meskipun mobilisasi online bisa kuat, keberlanjutan dan dampaknya di dunia nyata sering kali membutuhkan keterlibatan politik yang lebih formal dan strategis. Ini yang pernah disampaikan Zeynep Tufekci, seorang peneliti media sosial dan gerakan sosial.
Tantangan dan Risiko Media Digital
- Ethan Zuckerman, seorang pakar komunikasi, memperingatkan bahwa media digital juga bisa membawa risiko, termasuk fragmentasi informasi dan “echo chambers,” di mana pemuda hanya mendengar pandangan yang mendukung opini mereka tanpa pertukaran ide yang luas. Ini bisa menciptakan polarisasi politik yang lebih besar.
- Menurut Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together, meskipun pemuda menggunakan media digital untuk terlibat dalam politik, terlalu banyak ketergantungan pada media ini bisa mengurangi kualitas interaksi manusia dan pemahaman politik secara mendalam. Pemuda mungkin terdorong untuk melakukan aktivisme “klik” atau “slacktivism,” yang terbatas pada aktivitas online tanpa dampak nyata.
Big Data dan Kampanye Politik
- David Karpf, seorang peneliti politik digital, menyoroti bagaimana media digital dan big data digunakan oleh politisi untuk memengaruhi pemilih muda. Analisis data yang luas memungkinkan politisi untuk menargetkan pesan yang sangat personal kepada kelompok-kelompok tertentu, termasuk pemuda, berdasarkan preferensi media sosial dan riwayat perilaku online mereka.
- Cathy O’Neil, seorang ahli matematika dan penulis buku Weapons of Math Destruction, memperingatkan bahwa penggunaan big data dalam politik bisa mengancam privasi pemuda dan dapat dimanipulasi untuk menyebarkan disinformasi, yang merusak proses demokrasi.
Para pakar sepakat bahwa media digital memberi pemuda peluang besar untuk terlibat dalam politik, tetapi juga menekankan adanya tantangan terkait disinformasi, manipulasi data, dan kebutuhan akan partisipasi politik yang lebih mendalam. Pemuda harus memanfaatkan media digital sebagai alat untuk berdaya di politik, sambil tetap kritis terhadap risiko yang dihadapi di era digital.
Dengan memanfaatkan media digital dan big data secara strategis, serta tetap berkomitmen pada idealisme mereka, pemuda dapat memainkan peran penting dalam politik sambil memajukan perubahan sosial dan politik yang positif.
—000—
*Kolumnis Iqra Semesta, tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan