

Jangan katakan sebagai orang Indonesia, kalau belum tahu candi Borobudur. Narasi membanggakan itu sudah lazim kita dengar. Meski belum semua masyarakat Indonesia berkesempatan menyaksikan sendiri kemegahannya, tapi kemasyhuran Borobudur “wajib” diketahui. Situs warisan dunia menurut UNESCO itu, sangat menarik perhatian Emmanuel Macron-Presiden Perancis. UNESCO adalah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di negara asalnya, Macron dikenal sebagai sosok pemimpin cinta budaya. Meski kental muatan politisnya, Macron sangat peduli dengan renovasi kastil Renaissance. Kini situs tersebut telah ditransformasikan sebagai pusat internasional untuk bahasa Perancis. Harapannya dapat menarik ratusan ribu pengunjung per tahunnya, dalam ajang pameran budaya.
Tidak mengherankan, Presiden Kota Mode Dunia itu “ngebet”, ingin menyaksikan sendiri monumen Buddha ikonik terbesar di dunia. Tetapi untuk menikmati nilai seni relief piramida bertingkat dan stupa, dibutuhkan kemampuan fisik ekstra. Untuk mencapai puncak Borobudur, harus melewati tiga bagian utama (Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu). Artinya harus mampu menanjaki 360 anak tangga, untuk mencapai puncak yang tingginya setara dengan gedung 12 lantai. Tentu bukan tantangan yang ringan, bagi siapa pun individu yang tidak memiliki kapasitas fisik prima.
Sebagai tamu kehormatan dalam agenda kerja sama strategis pertahanan, Presiden Prabowo mendampingi kunjungan kenegaraan Macron. Dari masing-masing kepala pemerintahan, sudah barang tentu banyak pejabat yang ikut serta mendampingi. Risiko medis patut diperhitungkan. Pasalnya mayoritas pejabat terbilang berusia tidak muda lagi. Diprediksi tidak mudah mencapai puncak stupa besar perlambang Nirwana.
Banyak keuntungan yang akan dicapai negara kita dengan kunjungan Presiden Macron di Borobudur. Pasti momen tersebut mendapatkan liputan internasional yang sangat signifikan. Sayang bila peristiwa penting itu terlewatkan, sebagai ajang promosi pariwisata Indonesia di mata dunia. Logis bila segala sarana perlu dipersiapkan secara matang.
Borobudur merupakan destinasi wisata super prioritas. Juga sebagai pusat spiritual yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Dampak domino ekonominya pun penting bagi sumber devisa negara, ataupun masyarakat lokal.
Stairlift
Tanpa adanya kunjungan Presiden Macron pun, sejatinya stairlift diperlukan untuk mempermudah menikmati semua sudut Borobudur. Utamanya bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik (misalnya lansia dan kaum difabel). Hal itu merupakan perwujudan aspek inklusifitas. Sedangkan Stairlift dan ramp (jalur landai) adalah sarana yang terpilih. Asal dijamin tidak menyebabkan kerusakan ataupun perubahan arsitektur candi, penggunaan fasilitas tersebut patut didukung semua pihak.
Di sisi lain, Tiongkok punya semboyan wisata yang populer. “Tidak lengkap kiranya jika berkunjung ke Negara Tirai Bambu, tanpa menyaksikan Tembok Besar China”. Tetapi medannya sangat menantang. Agar lebih mudah diakses oleh siapa pun, terutama kaum inklusif, pemerintah Beijing membuat lift dan jalur kursi roda. Konon dengan memberi kemudahan fasilitas, terjadi peningkatan kunjungan wisata ke salah satu situs keajaiban dunia versi UNESCO itu.
Beberapa situs bersejarah lainnya di luar negeri, juga menggunakan fasilitas serupa. Misalnya di Akropolis (Athena), Angkor Wat (Kamboja), dan Kuil Pantheon di Roma.
Risiko Medis
Kemampuan naik tangga, merupakan cara sederhana untuk mengetahui performa kesehatan seseorang. Bagi individu yang tidak berlatih fisik secara reguler, naik tangga manual hingga puncak Borobudur sangat melelahkan. Denyut jantung dan laju pernapasan, akan meningkat drastis. Jika sudah memiliki latar belakang penyakit jantung koroner, gagal jantung, ataupun gangguan irama jantung (aritmia), berisiko tinggi mengalami serangan jantung. Kejadian tersebut berpotensi berakibat fatal, jika tidak mendapatkan pertolongan medis segera. Seperti diketahui, baik di Indonesia ataupun di seluruh dunia, penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab kematian tertinggi.
Beberapa penyakit paru yang telah dimiliki seseorang, berpotensi mempersulit mencapai ketinggian tertentu melalui tangga. Contohnya asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Dua kondisi penyakit paru tersebut, membuat penyandangnya sulit bernapas. Banyak faktor yang melandasi penyakit. Kebiasaan merokok yang berlangsung bertahun-tahun, menjadi mayoritas penyebabnya.
Gagal ginjal bisa terjadi dengan beberapa tingkatan manifestasi. Risiko tersering adalah timbulnya penumpukan cairan di seluruh bagian tubuh. Jika terjadi di paru, membuat penyandangnya sesak dan sulit beraktivitas fisik. Apalagi jika harus naik tangga. Komplikasi setiap saat dapat terjadi. Misalnya memicu gagal jantung atau gangguan irama jantung yang fatal.
Proses bertambahnya usia, sering diikuti dengan kemunduran kekuatan otot dan tulang kaki. Khususnya pada individu yang memiliki berat badan berlebih atau obesitas. Tulang rawan tempurung lutut mengalami degenerasi, sehingga mempersulit pergerakan kaki. Bahkan sering kali terasa nyeri, terutama saat naik/turun tangga atau berjalan.
Beberapa penyakit lainnya juga berpotensi mengganggu aktivitas fisik seseorang. Misalnya pasca stroke, cedera, dan penyakit pembuluh darah perifer yang mengganggu aliran darah ke kaki.
Borobudur bukanlah sekedar tumpukan batu. Melainkan mahakarya agung. Di situlah cermin jejak pencapaian peradaban dan religi bangsa Indonesia.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan