

Pro-kontra pernyataan Ahmad Dhani terus bergulir. Mungkin sebagian besar publik kurang sependapat. Bahkan tidak sedikit yang mengecam. Politikus partai Gerindra yang juga seniman itu, menyampaikan komentar kontroversial terkait naturalisasi pemain bola Indonesia. Forum berpendapatnya pun resmi dan terhormat, yakni dalam rapat Komisi X DPR RI. Ungkapannya agar pemain hebat dinaturalisasi melalui perjodohan, dinilai patriarki dan diskriminatif. Pentolan grup musik Dewa 19 itu beranggapan, kelak anak pemain naturalisasi menjadi pemain bola berbakat.
Saya pribadi tidak bermaksud ikut campur dalam pro-kontra gagasan tersebut. Penulis beropini dari sisi lain. Apakah memang pesepakbola hebat, secara genetika menurunkan bakat pada keturunannya ? Benarkah talentanya dibentuk melalui latihan yang terprogram atau memang bakat terlahir ?
Mungkin Ahmad Dhani sedang berekstrapolasi terhadap pengalaman hidup pribadinya. Bersama mantan istrinya Maia Estianty, ketiga anaknya sukses mengikuti jejak kedua orang tuanya sebagai seniman. Sangat mungkin ketiganya terlahir dengan memiliki bakat bermusik. Dibesarkan dalam lingkungan keartisan, bakat ketiga anaknya seolah terpupuk untuk tumbuh subur. Singkatnya, talenta seseorang merupakan perpaduan antara bakat dan pengaruh lingkungan selama dia dibesarkan.
Genom manusia
Setiap manusia diperkirakan memiliki 20 ribu hingga 25 ribu gen. Semuanya tersimpan dalam suatu untaian molekul panjang yang disebut DNA (Deoxyribonucleic acid). Berbagai unsur kimiawi dalam DNA, mengandung informasi genetik. Ibarat kita membaca suatu kalimat yang tertera dalam suatu halaman buku, di situ tersirat adanya pesan tertentu. DNA menggunakan “bahasa” yang disebut kode genetik. Itu dapat “dibaca” oleh sel-sel hidup, untuk menghasilkan sifat-sifat tertentu.
Ilmu genetika telah banyak menjelaskan peran gen seseorang (genotipe), dalam membentuk tampilan (fenotipe) keturunannya. Ringkasnya, fenotipe seseorang merupakan hasil interaksi antara struktur gen yang dimiliki dan pengaruh lingkungan. Ada beberapa contoh yang mudah dipahami. Langkah kaki seorang anak, postur, bahkan cara berbicara, hampir tidak bisa dibedakan dengan orang tuanya. Hobi, warna kulit dan mata, hingga model rambutnya pun sangat mirip. Kata orang bagaikan pinang dibelah dua. Peribahasa mengatakan, buah kalau jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Apabila gen-gen dan semua materi genetik dihimpun, jadilah suatu susunan genom.
Bakat
Sungguh menarik riset yang dilakukan peneliti dari University of Minnesota. Kajiannya bertajuk Minnesota Twin Family Study. Mereka mempelajari sebanyak 137 saudara kembar, dari tahun 1979 hingga 1999. Penelitiannya difokuskan pada pengaruh gen pada berbagai perspektif. Misalnya aspek kepribadian, kepercayaan, tingkat intelegensi, perilaku, minat, dan gaya hidup. Para peneliti berkesimpulan, lima puluh persen kepribadian seseorang diturunkan melalui gen. Termasuk di dalamnya soal ketaatan terhadap otoritas, serta kerentanan menghadapi tantangan risiko dan stres. Para peneliti juga menghasilkan kesimpulan menarik. Tingkat intelegensi seorang anak, merupakan kolaborasi 70 persen faktor genetik dan 30 persen pengaruh lingkungan.
Peneliti lainnya dari King’s College London, berbeda kesimpulan. Mereka berpendapat, peranan lingkungan memiliki dampak yang lebih besar dibanding faktor genetik.
Ada suatu riset yang mengungkap tabir kesuksesan seorang atlet sepakbola. Performa fisiknya, dipengaruhi interaksi sejumlah unsur lingkungan dan faktor genetik. Calon atlet muda berbakat, sebagian dapat diidentifikasi melalui profil genetikanya. Beberapa “marker”/penanda genetik, dikaitkan dengan status kekuatan, kecepatan, daya tahan, keseimbangan, dan refleks anggota gerak seorang atlet. Keseluruhan faktor tersebut, dipengaruhi oleh volume, komposisi serat-serat otot anggota gerak, dan pola adaptasinya. Peranan berbagai komponen tersebut, nantinya sangat menentukan talenta seorang pemain. Misalnya kapasitas dalam lompatan maju dan horizontal. Kekuatan maksimal selama berlari dan melompat, dikendalikan oleh sifat otot dan tendon. Selain itu juga dipengaruhi aktivitas sistem saraf/neuromuskuler. Variasi genetik yang berupa polimorfisme nukleotida tunggal dalam DNA seorang atlet, berasosiasi dengan prestasinya (Murtagh CF, 2020).
Bakat sepak bola bisa dideteksi sejak dini. Mulai fase anak, mereka dapat cepat memahami bermain sepakbola yang benar. Seorang pelatih bisa mengetahui bakat tersebut, karena tidak memerlukan instruksi yang berulang kali. Cara bermainnya tampak simpel, taktis, dan sistematis. Singkatnya, tidak boros energi dan sangat membantu kinerja suatu tim.
Bakat sepakbola juga bisa dinilai dari daya tahan fisik, kecepatan, kelenturan dalam perubahan gerakan tubuh. Secara bertahap, mereka cepat menyerap porsi latihan kecerdasan bermain bola. Misalnya cara dribel bola yang lugas, kontrol bola yang lengket, serta akurasi passing dan shooting yang tinggi. Mereka juga terampil menyesuaikan diri dengan berbagai formasi permainan. “Anehnya”, anak berbakat sepakbola tidak menyadari akan bakatnya tersebut. Mereka memiliki rasa keingintahuan dan kemauan belajar yang sangat tinggi.
Diego Maradona pernah berujar, melihat bola, mengejarnya, membuatnya menjadi pria paling bahagia di dunia.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan