
“Memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, peredaran produk farmasi ilegal tersebut semakin meningkat tajam.”
Oleh: dr. Ari Baskoro, Sp.PD-KAI (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya)

Tidak dapat dibayangkan sebelumnya, kini semakin banyak masyarakat “menikmati” produk ilegal. Peredaran komoditas pangan olahan semakin meluas dan mudah diakses. Tanpa izin edar (TIE). Batas kedaluwarsanya pun tidak selalu mudah untuk dipantau. Ada pula yang telah “rusak” dan tidak layak konsumsi. Nilai ekonomi produk yang dikategorikan “tidak memenuhi ketentuan” (TMK) itu, juga tidak sedikit.
Penjualan berbagai produk konsumsi TMK melaluionline, atau e-commerce, semakin subur saja. Masyarakat tinggal memilih. Bisa komoditas domestik. Barang impor pun mudah didapatkan. Mungkin saja lebih murah, dibanding penjualan secara konvensional. Celakanya masyarakat sebagai konsumen, banyak mendapatkan informasi yang tidak benar. Bahkan menyesatkan. Kualitas dan manfaatnya sering kali tidak sesuai dengan harapan. Masih “untung”, bila tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan.
Setali tiga uang, peredaran obat ilegal juga semakin marak. Memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, peredaran produk farmasi ilegal tersebut semakin meningkat tajam. Situasi pandemi Covid-19, rupanya menambah minat masyarakat berbelanja secara online. Termasuk untuk pemenuhan kebutuhan pangan, minuman, dan obat-obatan. Tidak mengherankan,Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) semakin kewalahan dalam melakukan fungsi pengawasannya.
Ribuan tautan yang memasarkan produk pangan olahan TIE, telah dapat dideteksi. Namun sangsi hukumnya tidak mudah untuk diterapkan. “Hukumannya” hanya secara administratif belaka. Pengajuan takedown, diharapkan dapat ditindak lanjuti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Tapi tindakan itu tidak menyurutkan pasar daring. Penerapan Undang-undang ITE juga tidak mudah. Sungguh memprihatinkan, BPOM bekerja tanpa didukung Undang-Undang yang cukup memadai.
Peredaran obat ilegal
Peredaran obat-obatan ilegal di Indonesia, cukup masif. Banyak faktor yang dapat memudahkan bisnis tersebut tetap eksis. Di antaranya adalah gampangnya mendapatkan bahan baku dan mesin-mesin produksi bekas. Bahan kemasannya pun sangat mirip. Sangat sulit dibedakan dengan produk aslinya. Kemajuan teknologi saat ini, sangat memungkinkan bagi orang-orang tertentu untuk mengeruk keuntungan dengan jalan pintas. Terlepas dari risiko memperoleh obat palsu, berbelanja obat secara online bisa memberikan “keuntungan”. Terutama dari sisi mendapatkan obat yang relatif langka. Pada umumnya pun, dapat diperoleh dengan harga yang relatif lebih murah.
Data yang disampaikan oleh Bismo Teguh Baskoro, cukup mencengangkan. Dikatakannya, peredaran obat palsu di Indonesia mencapai US$ 2 miliar. Nilai tersebut identik dengan 25 persen dari total persentase bisnis farmasi di Indonesia, pada tahun 2016. Disebutkannya pula, keuntungan ekonomi produksi dan peredaran obat palsu,jauh lebih besar dibandingkan produksi narkotika dan psikotropika. Namun sebaliknya, risiko ancaman hukuman pidana penjara maupun dendanya, jauh lebih ringan dari pada kejahatan narkotika atau psikotropika. Bismo Teguh Baskoro menyampaikan data tersebut pada disertasinya dalam bidang Kriminologi, di Universitas Indonesia tanggal 7 Januari 2020.
Upaya mengatasi persoalan obat palsu, telah dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pada tanggal 30 Mei hingga 7 Juni 2016, Indonesia telah mengamankan ribuan kemasan obat ilegal. Nilai ekonominya mencapai US$4,2 juta. Obat-obat ilegal itu diamankan dari 64 pabrik dan tempat produksinya di seluruh Indonesia. Dalam waktu yang bersamaan, sebanyak 214 situs website yang menjual obat ilegal secara online juga dipaksa ditutup.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan adanya peningkatan peredaran obat-obat ilegal. Khususnya sejak adanya pandemi Covid-19. Kategorinya antara lain, obat tercemar, obat tanpa bahan aktif, ataupun obat kedaluwarsa. Nilainya bisa mencapai US$30 miliar. Terutama terjadi di negara-negara miskin dan negara-negara berpenghasilan menengah.
Instrumen hukum
Masyarakat seharusnya berhak mendapatkan perlindungan. Aturan itu tertera dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, tentang perlindungan konsumen. Komoditas makanan olahan, minuman, dan obat-obatan ilegal, bisa berdampak sangat merugikan. Menurut keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 166 tahun 2003, wewenang pengawasan peredaran produk-produk tersebut, dilimpahkan pada BPOM. Di sisi lain, BPOM kurang memiliki dukungan peraturan perundang-undangan yang komprehensif dan terpadu.
Saat ini pengaturan mengenai obat dan makanan, masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Belum ada pengaturan secara khusus. Misalnya menyangkut tindak pidana peredaran secara daring terhadap produk-produk TMK. Dalam hal ini BPOM, harus bekerja sama dengan institusi lainnya yang memiliki kewenangan melakukan penindakan.
Salah satu instrumen pengendali distribusi obat, harus mematuhi prinsip cara distribusi obat yang baik (CDOB). Peraturan BPOM nomor 6 tahun 2020 menyatakan, cara distribusi/penyaluran obat, dan/atau bahan obat, bertujuan memastikan keamanan, khasiat, dan mutu, sepanjang jalur distribusinya/penyaluran, dan tujuan penggunaannya.
Selain itu juga berupaya untuk mengantisipasi pemalsuan obat dan/atau bahan obat. Peredaran obat palsu, berdampak sangat merugikan dan/atau bahkan berisiko menimbulkan korban jiwa. Oleh karena itu, harus ada kerja sama semua pihak bidang kefarmasian, bea dan cukai, serta lembaga penegak hukum. Sertifikasi dan inspeksi rutin, menjadi cara BPOM mencegah penyelewengan di lapangan. Misalnya kasus vaksin palsu pada tahun 2016 yang sempat menghebohkan negeri ini. Pembelajaran pahit juga terjadi pada kasus gagal ginjal akut pada anak, baru-baru ini. Ratusan jiwa anak, menjadi akibatnya. Itu semua terkait dengan cemaran ethyleneglycol (EG) dan diethyleneglycol (DEG) yang tergolong produk TMK.
Merujuk UU no.36 tahun 2009 pasal 98 ayat (2), juga tidak mudah penerapannya. Aturan hukum itu berkaitan dengan masalah melakukan praktik kefarmasian, tanpa keahlian dan kewenangan.Seseorang dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Namun kenyataan di lapangan bisa sangat berbeda. Cukup banyak terjadi promosi dan penjualan obat di masyarakat, tanpa latar belakang kompetensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Iklan obat, makanan, dan obat herbal alternatif, sangat mudah dijumpai di media cetak maupun elektronik. Rata-rata hanya berbekal testimoni belaka. Hampir tidak pernah ada yang menyampaikannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah. Target sasaran pada umumnya adalah masyarakat menengah ke bawah. Mereka relatif mudah terpengaruh.Faktor pendidikan dan kapasitas literasi, sangat menentukan. Adanya celah soal kepastian hukum ini, berdampak pada semakin sulitnya pengendalian peredaran produk-produk konsumsi TMK.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang hingga kini belum disahkan DPR, menjadi tumpuan harapan. Khususnya menyangkut ketentuan pidana dalam Bab XVIII. Senyampang menunggu pengesahan, diharapkan masyarakat lebih teredukasi dan waspada menyikapi peredaran produk-produk ilegal.
Tinggalkan Balasan