
“Saat ini AI dan machine learning (pembelajaran mesin), telah dikembangkan untuk membantu dokter dalam mengambil suatu keputusan. Khususnya dalam hal memprediksi terjadinya suatu reaksi adversi obat yang semula tidak mungkin dapat diprediksi.”
Oleh: dr. Ari Baskoro SpPD (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya)

Manusia dilahirkan dengan kecerdasan alamiah yang telah dimilikinya. Dalam beberapa tingkat yang amat bervariasi, hewan juga memilikinya. Otak merupakan organ kompleks yang berada di balik fungsi penting tersebut. Jaringan sarafnya didukung sekitar 86 miliar neuron (sel-sel saraf). Semuanya terjalin secara “sempurna”, melalui 100 triliun sinapsis.
Hingga kini belum bisa dipahami secara keseluruhan, bagaimana jalinan yang demikian rumitnya tersebut mampu membuat seseorang menjadi cerdas. Pembelajaran, kreativitas, pengalaman hidup, dan pola pikir inovatif, disebut-sebut mampu meningkatkan kualitas kognitif seseorang.
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), diciptakan oleh kecerdasan manusia.Saat ini teknologi canggih tersebut, telah lazim digunakan untuk membantu kehidupan manusia sehari-hari. Termasuk manfaatnya dalam aspek kesehatan.
Walaupun tanpa “jiwa”, AI memiliki beberapa keunggulan. AI dapat bekerja tanpa lelah.Bisa mengerjakan beberapa tugas sekaligus, dengan waktu yang lebih efisien. Kemampuan AI juga dapat ditingkatkan melalui “pembelajaran”. Semakin banyak data yang kemudian diolah melalui algoritme tertentu, memberi peluang AI memproses data, sekaligus dapat meningkatkanperformanya secara terukur. “Jaringan saraf tiruan” ini,dapat mengenali pola, mengklasifikasi data, dan dapat memprediksi kejadian pada waktu yang akan datang.
Saat ini AI dan machine learning (pembelajaran mesin), telah dikembangkan untuk membantu dokter dalam mengambil suatu keputusan. Khususnya dalam hal memprediksi terjadinya suatu reaksi adversi obat yang semula tidak mungkin dapat diprediksi.
Reaksi adversi obat
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), reaksi adversi terhadap obat (adverse drug reaction/ADR), terjaditanpa suatu kesengajaan. Bisa menimpa pada siapapun juga, serta merupakan suatu insiden yang sangat tidak diinginkan/tidak terduga. Manifestasi klinisnya dapat sangat berbahaya. Bahkan bisa fatal dan mengancam jiwa.
Semua unsur obat yang digunakan, baik untuk tujuan pencegahan, diagnosis, ataupun pengobatan, mampu menimbulkan ADR.Tanpa terkecuali, termasuk obat herbal ataupun obat-obat bebas (OB). Artinya dapat dibeli tanpa resep dokter. Meski demikian, hanya obat-obat golongan tertentu saja yang mempunyai potensi risiko lebih tinggi, dibanding obat-obat lainnya.
Hingga kini ADR masih tetap menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Bila terjadi, akan dapat memperburuk hasil pengobatan. Angka rawat inap pun akan meningkat. Dampaknya tidak hanya menambah biaya pengobatan, tetapi juga memengaruhi kualitas hidup, keselamatan, dan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan.
Di Amerika Serikat dan Kanada, ADR diperkirakan menjadi penyebab kematian peringkat ke empat, setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke. Di sisi lain, ADR menduduki peringkat ke enam, sebagai penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia.
Biaya moneter yang harus dikeluarkan akibat ADR relatif tidak mudah untuk dinilai. Diperkirakan mencapai $75 hingga $180 miliar setiap tahunnya. Itu hanya data yang mencakup orang dewasa. Dana tersebut berasal dari pembiayaan rawat inap, sebagai akibat langsung ADR. Diperkirakan sebanyak lima persen jumlah rawat inap, berasal dari masalah ADR. Total semua biaya yang dikeluarkanitu, setara atau bahkan lebih besar dibanding beberapa penyakit katastropik/berbiaya mahal. Misalnya diabetes ($45 miliar), penyakit kardiovaskuler ($120-150 miliar), atau kanker ($130-195 miliar). Selama 30 tahun terakhir, kejadian ADR tidak banyak berubah. Tidak mudah untuk mereduksinya (Miles Hacker, 2009)
Alergi Penisilin
Penisilin dan derivatnya merupakan antibiotika yang paling luas penggunaannya. Perannya dalam memberantas infeksi bakteri tidak diragukan lagi. Ironisnya di sisi lain, obat tersebut paling sering terlibat dalam masalah ADR. Khususnya dalam bentuk alergi obat.Prediksi diagnosisnya pun, tidak memiliki tingkat akurasi hingga 100 persen. Hingga kini tes provokasi obat sebagai cara diagnostik yang paling mendekati kebenaran, tidak terlepas dari beberapa kendala. Tes ini memerlukan waktu yang cukup panjang. Risiko memunculkan alergi yang berbahayapun, masih tetap bisa terjadi.
Di sisi lain, golongan obat lainnya tidak memiliki cara tes seperti penisilin. Karena itu, alergi obat masih merupakan masalah besar bagi dunia kesehatan.
Baru-baru ini, The Journal of Allergy and Clinical Immunology:I n Practice, untuk pertama kalinya membahas AI untuk kepentingan prediksi alergi penisilin. Meski masih memerlukan penyempurnaan dalam aplikasinya, temuan teknologi ini nantinya akan sangat membantu tugas-tugas tenaga kesehatan.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS)
Manfaat AI terus bergulir. Hingga kini belum ada riset yang mampu memprediksi secara akurat terjadinya SJS. Skrining berdasarkan pemeriksaan genetika tidak praktis, memakan waktu yang cukup lama dan berbiaya besar. Hanya negara-negara maju dan pusat-pusat riset tertentu saja yang dapat melakukannya. Padahal SJS merupakan salah satu contoh ADR yang dapat mengancam jiwa.Tidak terlalu sering, tapi juga tidak jarang terjadi.
Bila SJS terjadi, sering menimbulkan persepsi negatif di tengah-tengah masyarakat. Tidak jarang memicu opini munculnya dugaan malpraktek. Kadang pula dibawa hingga masuk ranah hukum.
Kulit yang melepuh seperti mengalami luka bakar, adalah manifestasi klinis yang khas pada SJS. Itu bisa terjadi setelah beberapa saat menggunakan suatu obat. Sebenarnya bukan hanya obat saja yang melandasi mekanisme terjadinya SJS. Ada beberapa faktorlainnya yang saling berinteraksi. Misalnya faktor genetik, infeksi virus, penyakit keganasan/kanker, dan gangguan fungsi sistem imun.
Gejalanya sering kali diawali dengan demam. Kemudian diikuti manifestasi lainnya yang bisa berupa nyeri tenggorok, lesi-lesi pada bibir/mulut dan mata. Organ-organ dalam pun sering terlibat. Tidak jarang menyerang daerah kemaluan dan seputar dubur. Luka ini terasa sangat nyeri. Komplikasi yang berujung pada kematian, bisa terjadi karenanya.
Mengenali gejala pada fase awal penyakit, tidak selalu mudah.Diagnosis sedini-dininya menjadi kata kunci yang sangat penting, untuk menekan dampak buruk penyakit tersebut.
Baru-baru ini,AI telah dikembangkan untuk dapat mendeteksi secara dini gambaran klinis SJS. Tingkat akurasinya bahkan disebut-sebut lebih baik dari pengenalan awal oleh seorang dokter. Ketepatannya bisa mendekati 95 persen.
Tidak disangsikan lagi, AI merupakan teknologi inovatif yang semakin banyak dibutuhkan. Untuk saat ini dan pada masa-masa yang akan datang.Berbagai masalah kehidupan manusia diharapkan lebih mudah untuk dapat dipecahkan. Hal itu merupakan suatu tantangan, sekaligus kesempatan bagi para ahli di bidang teknologi informatika menunjukkan perannya. Sumbangsih nyata erhadap inovasi masalah kesehatan sangat dinantikan.
Tinggalkan Balasan