
Yogyakarta (Trigger.id) – Depresi dan kecemasan menjadi isu serius yang dapat menurunkan produktivitas kerja masyarakat. Hasil skrining kesehatan jiwa terhadap 13 juta penduduk Indonesia dalam program Cek Kesehatan Gratis hingga 15 Agustus 2025 mencatat, sekitar 1 persen mengalami gejala depresi dan 0,9 persen menunjukkan gejala cemas. Angka ini memang terlihat lebih rendah dibanding prevalensi global maupun survei nasional yang biasanya berada di kisaran 3–5 persen.
Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa faktor penyebab munculnya depresi dan kecemasan sangat beragam. “Tidak bisa hanya dilihat dari satu faktor saja. Tekanan psikologis, kondisi sosial-ekonomi, penyakit kronis, beban pekerjaan, serta keterbatasan akses layanan kesehatan psikologis turut berperan,” ujarnya, Rabu (24/9).
Menurutnya, masih rendahnya literasi kesehatan mental dan kuatnya stigma di masyarakat membuat banyak kasus tidak terdeteksi sehingga tidak tertangani. “Selain itu, keterampilan coping atau kemampuan mengatasi tekanan yang belum berkembang optimal juga menambah kerentanan,” imbuhnya.
Dampak depresi dan kecemasan, kata Nurul, tidak hanya dirasakan secara individu tetapi juga memengaruhi produktivitas secara luas. Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakhadiran di tempat kerja maupun hadir tanpa efektifitas kerja. “Secara global, kerugian ekonomi akibat depresi dan kecemasan diperkirakan lebih dari 1 triliun dolar AS per tahun, selain juga menurunkan kualitas hidup dan relasi sosial,” paparnya.
Ia mengingatkan, gejala depresi dan kecemasan yang tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi gangguan kronis dan memunculkan risiko lebih berat, mulai dari penyalahgunaan zat, gangguan kesehatan fisik, hingga tindakan bunuh diri. “Beban psikologis, ekonomi, dan sosial akibat kondisi ini akhirnya juga semakin menekan individu, keluarga, bahkan masyarakat luas,” jelasnya.
Sebagai langkah pencegahan, Nurul menekankan pentingnya meningkatkan literasi kesehatan mental untuk menurunkan stigma, sekaligus memperkuat kemampuan deteksi dini baik di rumah maupun layanan primer. Ia juga mendorong perluasan intervensi berbasis bukti yang dapat dilakukan tenaga non-spesialis.
“Gerakan promosi dan pencegahan berkelanjutan, serta memperkuat alur rujukan masalah kesehatan mental di sekolah, kampus, hingga tempat kerja menjadi prioritas utama yang harus dilakukan,” pungkasnya. (bin)
Sumber: ugm
Tinggalkan Balasan