Tampaknya ‘marah’ sudah menjadi hal yang susah dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Menurut jajak pendapat Gallup terhadap lebih dari 147.000 orang di 142 negara, hampir seperempat responden mengaku biasa marah secara rutin. Jumlah ini tak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir.
Kalau seperempat populasi manusia mudah marah, cukup besar kemungkinan kita juga biasa marah. Ya, wajar lah. Karena marah adalah salah satu emosi dasar manusia. Setara dengan emosi gembira, sedih, jijik, takut, heran, dan lain-lain.
Saat kita marah, ada perubahan fisiologis dan biologis dalam tubuh. Antara lain peningkatan detak jantung dan tekanan darah, peningkatan kadar adrenalin dan noradrenalin.
Kemarahan bisa menjadi hal yang baik jika bisa mendorong kita berupaya mencapai hasil positif atau memotivasi kita menyingkirkan perasaan negatif. Yang tidak baik adalah amarah berlebihan. Selain merusak kesehatan dan fisik kira sendiri, ini bisa mengganggu hubungan baik dengan orang lain. Tak heran jika kemarahan berlebihan dapat menimbulkan konsekuensi negatif dan dianggap sebagai emosi tidak menyenangkan.
Nah, bagaimana cara untuk bisa mengendalikan amarah sehingga tidak meledak-ledak?
Prof Brad J. Bushman dari Ohio State University di Amerika Serikat, bersama mahasiswanya Sophie L. Kjærvik, melakukan meta-analisis berdasarkan data dari 154 penelitian dengan total lebih dari 10.000 partisipan. Mereka mencari teknik dan aktivitas lumrah yang terbaik untuk mengurangi amarah.
Hasilnya?
Sebagaimana dimuat dalam jurnal Clinical Psychology Review edisi Mei 2024, mereka menemukan bahwa aktivitas yang menurunkan gairah sangat efektif dalam mengurangi tingkat kemarahan dan agresi. Aktivitas ini semacam yoga, meditasi, laku spiritual, dan sejenisnya. Ini berlaku pada partisipan dari semua jenis kelamin, ras, usia, dan budaya. Hasilnya sama baiknya untuk kalangan pelajar, pelaku kriminal, hingga penyandang disabilitas.
Teknik ini tetap efektif meski cara penerapannya beragam. Misalnya, melalui media digital atau nyata, dalam sesi kelompok dan individu, di lapangan atau di dalam ruang.
Intervensi menjadi lebih efektif jika itu juga mencakup aktivitas kognitif dan penurunan gairah. Misalnya, ditambahi penenangan spiritual.
Di sisi lain, aktivitas yang meningkatkan gairah tidak cukup efektif atau tidak konsisten dalam mengurangi tingkat kemarahan dan agresi. Misalnya, joging justru terbukti lebih cenderung meningkatkan kemarahan. Ada sejumlah orang berolahraga bola atau mengikuti kursus gerak fisik untuk menurunkan tingkat kemarahan, namun hasilnya tidak konsisten.
Jadi, olah raga fisik, jika hanya untuk mengelola amarah, tidak terlalu efektif. Olahraga jogging mungkin baik untuk kekuatan jantung, tapi kurang baik untuk pengendalian amarah. Pendekatan yang lebih efektif untuk mengelola amarah adalah ‘meredam panas’. Yakni, lakukan penenangan diri dengan aktivitas yang menurunkan gairah.
Ada banyak nasihat dari Rasul untuk mengendalikan amarah. Kalau marahnya dalam posisi berdiri, segeralah duduk untuk lebih mudah menenangkan diri. Dengan metafora amarah terbuat dari api, maka berwudlulah untuk meredam panas di kepala sehingga pikiran jadi tenang. Bisa juga dengan membaca taawudz sambil diam mengendalikan diri dan pikiran.
—000—
*Psikolog, Tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan