
“Karena itu, jangan kaget jika guru menjadi profesi yang tergencet oleh kurikulum sekolah, orang tua murid dan tergencet oleh harga diri sekolah.”
Oleh: Emha Ainun Najib (Budayawan)

Diakui atau tidak bahwa pendidikan yang sekarang ini kita anut adalah warisan kolonial (Belanda), yang melihat manusia secara keliru karena mereka menerapkan pendidikan yang tidak berketuhanan.
Mereka bicara tentang kebebasan, bicara tentang hak azasi manusia, egalitarianisme dan sebagainya yang tidak memperhitungkan Tuhan sebagai salah satu faktor penentu. Hal tersebut bisa dilihat di abad ke 14 era Ranaisance, dimana dulu yang berkuasa adalah raja, gereja kemudian berganti menjadi pedagang.Pedagang tersebut bisa menjadi kuat karena ada revolusi akal sehat atau revolusi intelektual. Nah sekarang ini adalah puncak dari revolusi intelektual sekuler tersebut.
Karena itu, jangan kaget jika guru menjadi profesi yang tergencet oleh kurikulum sekolah, orang tua murid dan tergencet oleh harga diri sekolah.
Jika guru merasa tergencet oleh kurikulum, tidak bisa diatasi guru sendirian karena yang salah adalah negaranya karena kita telah salah memilih pemimpin negara seperti ini.
Jika ada pertanyaan, yang berhak membuat kurikulum itu Mendikbud atau lembaga negara yang lebih tinggi.
Mestinya yang membuat kurikulum itu MPR seperti di zaman pra amandemen. MPR membuat draft-draft aturan pendidikan termasuk kurikulum dimana pemerintah harus ikut dan patuh.
Kalau sekarang yang membuat kurikulum adalah pemerintah. Itu karena mereka tidak bisa membedakan antara pemerintah dan negara. Mestinya, ada yang membuat aturan dan ada yang melaksanakan aturan tersebut.
Selama ini di Indonesia itu rancu. Antara yang membuat aturan dan yang melaksanakan aturan itu orangnya sama.
Kalau dalam perusahaan, ada pemilik perusahaan yang diwakili komisaris, ada direktur dan ada manajer. Manajer hanya bisa melakukan sesuatu sesuai aturan pemilik yang diterjemahkan oleh direktur.
Nah di negara kita, manajer ya owner (pemilik), pemilik ya direktur, direktur ya komisaris. Jadi semuanya serba rancu dan kacau.
Kalau pendidikan kita seperti ini yang salah adalah aturannya atau syariatnya, sehingga jangan heran setiap kali ganti menteri pasti ganti kurikulum. Setiap ganti pimpinan selalu ganti aturan.
Sekarang Menteri selalu memiliki hak atau otoritas untuk ganti kurikulum dan itu 100 persen guru-guru tersiksa oleh kurikulum.
Mungkin kita akan tersiksa seumur hidup. Tetapi jangan khawatir kita memiliki siasah. Kita membuat sekolah yang bisa memenuhi standar kurikulum sekitar 30 persen salah bisa meluluskan anak didik, sementara yang 70 persen itu adalah hasil kreasi kita sesuai dengan kurikulum Quran. Dan yang pasti kita memiliki ide untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Guru juga tersiksa oleh sekolah. Jika ada ujian negara, ada dua kabupaten yang saling berunding bagaimana caranya agar ujian anak-anak tersebut bisa sukses dan lulus semua. Jadilah mereka bagi-bagi tugas, jawaban soal ada bagian yang mendistribusikan dan bahkan ada yang memperjual belikan.
Jika sampai banyak yang tidak lulus yang malu adalah, guru, lembaga pendidikan dan kepala daerahnya. Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan tersebut membodohi anak didik kita.
Dalam masalah ini, jawabannya adalah harus ada perubahan negara. Perubahan negara itu harus dipimpin oleh orang-orang yang benar-benar menjadi pemimpin atau pemimpin sejati.
Jadi untuk saat ini jangan tunggu perubahan negara, karena kita sendiri belum bisa memiilikh pemimpin sejati.
Yang bisa kita lakukan adalah kita harus yakin bahwa semua masalah bisa kita selesaikan dengan kecerdasan kita dan dengan akal sehat kita. Pelajari betul sifat-sifat Rasulullah Muhammad. Siddik, amanah, tabligh, fathonah. Pelajari betul keempat sifat tersebut, dari mana asal-usulnya dan bagaimana menerapkannya.
Tinggalkan Balasan