Pandemi Covid-19 telah memberikan gambaran atas kelangsungan serta tantangan dunia pendidikan di masa depan yang bergantung dengan penggunaan teknologi. Meminjam istilah sosiolog posmodern Anthony Giddens, tidak sedikit lembaga pendidikan yang menaruh pilihan pada penggunaan teleconference sebagai pengejawantahan dari dimensi institusional modernitas. Hal ini tak terkecuali lembaga pendidikan non formal misalnya TPA/TPQ, Rumah Tahfidz, TKQ dan lain sebagainya.
Mengutip pendapat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, bahwa teknologi tetap tidak dapat menggantikan peran guru, dosen, ustadz dan interaksi belajar antara murid dengan guru, santri dengan ustadz, mahasiswa dengan dosen. Sebab pendidikan, pengajaran dan pembelajaran bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan tetapi juga tentang nilai, karakter, kerja sama, serta kompetensi. Teringat ucapan seorang tokoh kyai “pendidikan bisa diajarkan melalui media online, namun kedisiplinan dan mental tidak mampu dijangkau oleh media online.
Maka, sekalipun dunia terbakar (pengandaian terhadap situasi terburuk), perjuangan untuk generasi mendatang harus tetap diperjuangkan dan dilaksanakan”. Senada dengan hal itu, Eddy Henry, Head of ECED Tanoto Foundation mengemukakan “Kita bisa menekan tombol pause untuk beberapa kegiatan, tapi kita tidak bisa melakukannya kepada pertumbuhan anak- anak kita.” (Webinar Tanoto Foundation, Proses Belajar Mengajar PAUD dengan Keterbatasan Teknologi Informasi, 27 April 2020)
Bagi Pendidikan al-Qur’an, tantangan ini cukup berat bila melihat kompetensi dan muatan yang ada pada kurikulum yang digunakannya. Pendidikan al-Qur’an yang selama ini menitikberatkan metode pengajarannya dengan model klasikal, mengharuskan praktik mengajar dengan bertatap muka antara ustadz dan santri, juga predikat santri yang secara etimologi menunjukkan proses penempaan pendidikan- pengajaran jauh lebih berat dan intens dibanding terminologi ‘siswa’.
Merujuk pendapat Zamakhsyari Dhofier; kata santri berasal dari ikatan kata “sant” (manusia baik) dan “tri” (suka menolong) sehingga dapat dimaknai manusia baik yang suka menolong dan bekerja sama. Prof. John mengatakan hal senada bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Selanjutnya, Clifford Geertz berpendapat kata santri berasal dari bahasa India atau sansakerta yaitu “shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis, melek huruf (kaum literasi) atau kaum terpelajar.
Terakhir, Nurcholis Madjid menegaskan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru, di mana pun guru itu menetap, dan ia digembleng habis-habisan di kawah condrodimuko untuk menjadi manusia sakti yang bermanfaat berjiwa pahlawan.
Dengan demikian, dimensi pendidikan dan pengajaran santri jauh lebih luas cakupannya, tidak hanya mendidik pada aspek pengetahuan umum, namun juga pada aspek mendidik bab agama (baca-al-Qur’an) serta turunannya. Lebih jauh lagi, jika ditelisik lebih jauh, tantangan pada dunia Pendidikan al-Qur’an jauh lebih kompleks dan beragam. Belum adanya metode praktis berbasis teknologi tentang pengajaran al-Qur’an ikut mendorong persoalan ini lebih pelik.
Hal yang lebih umum, TPA/TPQ tidak ditunjang infrastruktur komunikasi dan informasi yang merata, bahkan penggunaan telepon seluler pun tidak semua dimiliki para wali santri. Terlebih lagi wali santri banyak yang terbebani dengan kemampuan membeli paket internet dan hal teknis lainnya. Tantangan utamanya tentu posisi Pendidikan al-Qur’an yang tidak memiliki otoritas mengikat santrinya sebagaimana pendidikan formal lainnya. Alih-alih menjadi ‘pendidikan yang mengikat’, posisi TPA kebanyakan hanya menjadi pendidikan tambahan dan alternatif di tengah masyarakat ketimbang menjadi pendidikan pilihan.
Keadaan ini jika tidak segera disikapi dengan progresif, tidak menjadi bahan diskusi-diskusi para stakeholder, aktifis TPA/TPQ,bisa saja tantangan ke depan bukan hanya soal pandemi, namun berkurangnya minat belajar al-Qur’an melalui TPA/TPQ. Pada akhirnya, orang tua, santri, dan masyarakat untuk bisa membaca al-Qur’an mereka akan lebih memilih belajar privat- home visite, aplikasi-aplikasi seluler, maupun Youtubeketimbang harus mengantarkan ke TPA/TPQ dengan segala aturannya yang menyesuaikan protokol kebiasaan baru (new normal).
Memperkuat argumen di atas, salah satu portal berita nasional pada tanggal 29 Oktober 2020 pernah memuat liputan dengan tema “Menilik Keadaan Taman Pendidikan Al- Qur’an di Masa Pandemi” salah satu poin menyatakan: Saat TPA Al-Hikmah Jurugsari Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta masih dilaksanakan secara offline, pembelajaran bisa secara langsung mengoreksi bacaan dari para santri dan memberikan tugas secara langsung di kelas. Namun saat ini para pengajar harus menyiapkan materi dalam bentuk foto maupun video yang kemudian disebarkan melalui grup WhatsApp (WA) sehingga tugas bisa tertumpuk dengan tugas yang diberikan oleh sekolah. Hal tersebutlah yang membuat partisipasi dan antusiasme dari para santri menurun.
Akhirnya, harapan besar bagi lembaga pendidikan non formal seperti TPA/TPQ untuk terus memberikan inovasi dan layanan pendidikan yang maksimal dengan cara dikelola sebaik dan seprofesional mungkin. Stigma kepada TPA/TPQ sebagai ‘sekolah’ pengisi waktu luang harus dikikis dan diganti menjadi lembaga pilihan dan alternatif utama. Ketika pengelolaan pendidikan non formal semacam ini mengedepankan kualitas, maka keadaan pandemi maupun tidak, tak akan mempengaruhi kepercayaan dan antusiasme para orang tua untuk ‘menyekolahkan al-Qur’an’ putra-putrinya ke TPA/TPQ. Mari bangga menjadi guru ngaji, bukan profit dan materi yang dicari, namun perjuangan dan pelayanan pendidikan al-Qur’an yang terus menginspirasi.
Tinggalkan Balasan