Aceh Tengah (Trigger.id) – Pacuan kuda tradisional di Aceh merupakan salah satu kegiatan budaya yang sangat dinantikan, terutama di wilayah Gayo, Aceh Tengah. Acara ini biasanya diselenggarakan dalam rangka perayaan hari-hari besar, seperti peringatan kemerdekaan Indonesia atau hari-hari adat setempat. Pacuan kuda di Aceh tidak hanya sekadar lomba, tetapi juga melibatkan unsur kebudayaan dan kebersamaan masyarakat.
Pacuan Kuda Tradisional Gayo diselenggarakan dua kali setiap tahunnya di Kabupaten Aceh Tengah, yaitu pada bulan Februari untuk memperingati HUT Kota Takengon dan bulan September untuk memperingati HUT RI.
Beberapa tahun belakangan ini, Provinsi Aceh sudah mengalami pemekaran kabupaten, yaitu Pemkab. Bener Meriah dan Pemkab Gayo Lues, juga menyelenggarakan lomba Pacuan Kuda Tradisional Gayo satu tahun sekali, dan kuda-kuda dari tiga kabupaten inilah yang selalu ikut dalam acara ini.
Pacuan kuda di Takengon ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, namun penyelenggaraannya dilakukan setelah masa panen hasil pertanian. Uniknya, jokinya yang disebut joki cilik umumnya masih duduk di bangku SMP, dan saat menunggang kuda tersebut, mereka tidak mengnakenakan pelana.
Sementara itu, kuda-kuda yang mereka gunakan adalah hasil persilangan kuda Australia dan kuda Gayo yang kecil-kecil, yang merupakan bantuan dari pemerintah setempat. Sekarang, kuda-kuda Gayo tersebut sudah mulai tinggi-tinggi.
Sejarah Pacuan Kuda Aceh
Tradisi pacuan kuda di Aceh diperkirakan sudah ada sejak masa kolonial Belanda, ketika kuda menjadi alat transportasi dan simbol status sosial bagi bangsawan. Di Gayo, kuda juga berperan penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai hewan ternak dan transportasi. Pacuan kuda mulai populer sebagai hiburan rakyat dan lambat laun menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Gayo. Salah satu catatan sejarah menunjukkan bahwa pacuan kuda sudah menjadi ajang adu ketangkasan para pemuda sejak abad ke-19.
Keunikan Pacuan Kuda Aceh
Pacuan kuda Aceh memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari pacuan kuda tradisional lainnya di Indonesia:
- Joki Anak-Anak: Salah satu hal yang menarik adalah joki yang menunggangi kuda dalam pacuan ini biasanya anak-anak dengan usia antara 10 hingga 14 tahun. Mereka tidak menggunakan pelana atau alat bantu lainnya, hanya berpegangan pada badan kuda.
- Lintasan Alam Terbuka: Berbeda dengan pacuan kuda modern yang dilakukan di arena berpagar, pacuan kuda tradisional di Aceh sering berlangsung di padang terbuka, yang memberikan nuansa alami dan menyatu dengan lingkungan sekitar.
- Tidak Menggunakan Sadel: Pacuan kuda di Aceh biasanya dilakukan tanpa sadel, sehingga menambah tingkat kesulitan dan ketegangan bagi para joki.
- Sistem Penilaian: Pacuan kuda Aceh tidak hanya menilai kecepatan kuda, tetapi juga ketangkasan dan kemampuan mengendalikan kuda oleh para joki.
Perbedaan dengan Pacuan Kuda Tradisional Lainnya
Pacuan kuda tradisional di daerah lain seperti di Sumbawa atau Sumatera Barat mungkin juga melibatkan joki anak-anak, namun ada perbedaan pada lintasan dan peralatan. Di Sumbawa, pacuan kuda dikenal sebagai “Main Jaran” dan dilakukan di arena berpasir, sementara di Minangkabau, pacu kuda biasanya menggunakan sadel meskipun tetap mempertahankan unsur tradisionalnya.
Keseruan pacuan kuda tradisional di Aceh terletak pada keberanian joki-joki muda yang menunjukkan kelincahan dan keterampilan mereka dalam mengendalikan kuda di atas lintasan yang menantang, dengan dukungan dan sorak-sorai warga yang bersemangat mengikuti setiap perlombaan.
Sebelum PON di Aceh Tengah, ada dua kali turnamen tradisional pacuan kuda dilakukan pemerintah setempat.
Bagi masyarakat Gayo Aceh khususnya, pacuan kuda adalah ajang silaturahmi keluarga besar. Dimana saat pesta pacuan kuda, ramai-ramai masyarakat membawa bekal dari rumah yang disantap bersama-sama disela-sela acara pacuan kuda. (ian)
Tinggalkan Balasan