
Oleh: Dr. Nur Kholis Majid, M. HI – Pengurus MUI Jatim

Secara umum, penyebab terjadinya perbedaan dalam menentukan hari raya baik ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adlha di Indonesia, menurut al-Haqir, karena dua hal, yaitu: Pertama, karena berbedanya pijakan atau acuan dalam mengambil keputusan masuknya awal bulan Qamariyah. Perbedaan acuan atau pijakan yang dimaksud adalah antara hisab dan rukyat. Kedua, perbedaan dalam hal penentuan mathla’ (tempat terbitnya bulan), antaran wihdat al-mathla’(centra terbitnya bulan/ rukyat internasional) dan ikhtilaf al-mathali’ (berbeda terbit bulan / rukyat lokal).
Sebagian kelompok umat Islam di Indonesia dalam menentukan masuk awal bulan Hijriyah menggunakan rukyat al-hilal bil fi’li (melihat bulan secara langsung) sebagai acuan yang sah, sedangkan ilmu hisab atau ilmu falak merupakan penunjang untuk bisa dilakukannya rukyat. Dan jika terjadi pertentangan antara hasil perhitungan ilmu hisab atau ilmu falak dengan hasil rukyat, maka yang dijadikan acuan adalah hasil rukyat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang kemudian dilaksanakan para sahabat:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَإِنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Artinya:“Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan, kalau mendung bagimu, maka sempurnakan hitungan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari[1].” (H.R. Bukhori)
وقد صرحت أئمة المذاهب الاربعة بأن الصحيح أنه لا عبرة برؤية الهلال نهارا وإنما المعتبر رؤيته ليلا، وأنه لا عبرة بقول المنجمين
Di lain pihak, sebagian kelompok Islam menjadikan ilmu hisab sebagai pijakan utama dalam hal penentuan awal bulan Qamariyah dan sekaligus mencukupkan diri kepada hasil perhitungan ilmu hisab atau ilmu falak tersebut, tanpa harus dilakukannya rukyat al-hilal bil fi’li (melihat bulan secara langsung). Adapun yang dimaksud dengan hasil perhitungan ilmu hisab atau falak ialah al-Hisab al-Falaki al-Qoth‘i(ilmu hisab atau falak yang memiliki akurasi yang tinggi dan mendekati kebenaran). Artinya, jika bertentangan antara hasil hisab dan rukyat, maka yang dimenangkan adalah hasil hisab. Hal ini dikarenakan adanya rukyat yang sangat tergantung pada kondisi cuaca pada saat dilakukannya rukyat. Dengan kata lain, hilal akan dapat dirukyat apabila didukung dengan kondisi cuaca yang cerah. Dan sebaliknya, apabila kondisi cuaca tidak mendukung (mendung), maka sangat mungkin hilal tidak dapat dirukyat. Akibatnya, hitungan bulan harus diistikmalkan (disempurnakan menjadi 30 hari). Dengan alasan ini, maka hasil perhitungan ilmu hisab atau ilmu falak dianggap cukup untuk dijadikan sebagai acuan yang sah secara syar‘i kaitannya dengan penepatan awal bulan Qamariyah.
سئل عن قول السبكي: لو شهدت بينة برؤية الهلال ليلة الثلاثين من الشهر وقال الحساب بعدم إمكان الرؤية تلك الليلة عمل بقول أهل الحساب، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية
Di samping itu, sebagian kelompok umat Islam yang lain ada yang menganut pendapat ulama’ tentang wihdatul mathla’ (rukyat internasional), artinya, apabila di sebagian negara Islam di dunia terutama Makkah (Arab Saudi) ada yang melihat bulan, maka seluruh umat Islam sedunia harus mengikutinya. Karena bulan itu satu dan untuk semua manusia penghuni bumi. Hal ini sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah SAW dengan tidak adanya umat Islam yang ada di seluruh pelosok jazirah Arab yang berbeda dengan ketetapan Rasul SAW. Dan jika Rasulullah SAW memulai berpuasa, maka seluruh umat Islam yang ada pada zaman itu secara serentak melaksanakan ibadah puasa juga sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul SAW. Begitu juga dengan ketentuan yang berkaitan dengan Idul Fitri, jika Rasulullah SAW berlebaran, maka seluruh kaum muslimin juga ikut berlebaran.
Sedangkan sebagian umat Islam yang lain menggunakan menggunakan ikhtilaful matholi’ (rukyat lokal) sebagai dasar dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Artinya, setiap wilayah hukum punya otoritas untuk menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Sebagai contoh, walaupun di kota Makkah hilal sudah terlihat, akan tetapi kalau di Indonesia hilal tersebut belum terlihat, maka Indonesia punya hak untuk menentukan sendiri dan tidak harus mengikuti Makkah. Hal ini berdasarkan hadits sahabat Kuraib yang ketika awal Ramadlon berada di Syam dan berpuasa hari Jumat karena mengikuti keputusan Khalifah Mu‘awiyah yang berhasil melihat hilal malam Jum’at. Di pertengahan Ramadlon, Kuraib pergi ke Madinah dan bertemu dengan Ibnu Abbas, dan kemudian beliau berkata kepada sahabat Kuraib seraya menjelaskan bahwa di Madinah baru memulai puasa pada hari Sabtu karena hilal baru terlihat pada malam Sabtu. Dengan berlandaskan kepada atsar sahabat ini, maka keberadaan ikhtilaf al-mathali’ sebagai acuan dalam kaitannya penentuan awal bulan Qamariyah mendapatkan legitimasi dalam pandangan hukum Islam[2]. (Lihat: al-Fiqh Alislamy wa Adillatuh. DR. Wahbah al-Zuhaili)
Itulah faktor atau penyebab terjadinya perbedaan penentuan hari raya baik Idul Adlha atau Idul Fitri. Tentu sebagai umat Islam yang berukhuwah, kita tidak boleh mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya lalu menyalahkan orang lain yang berbeda pandangan. Oleh karena itu, sudah seharusnya umat Islam memandang bahwa perbedaan ini merupakan khilafiyah furu’iyah yang tidak harus terlalu dipertentangkan. Dengan demikian, hendaknya seluruh umat Islam mengikuti pendapat yang diyakininya, tetapi hendaknya juga toleran pada orang lain yang menggunakan acuan yang berbeda. Disamping itu, karena permasalahan ini merupakan hasil ijtihad, sedangkan Mujtahid (orang yang berijtihad) sekalipun salah dalam memberikan sebuah penjelasan hukum, maka kesalahan tersebut tidak menimbulkan dosa melainkan diberikan satu pahala. Sudah barang tentu, kesalahan hasil ijtihad tersebut bukan didasarkan kepada hawa nafsu atau kepentingan pribadi lainnya, melainkan didasarkan kepada kajian ilmiah disamping sudah terpenuhinya syarat-syarat mujtahid.
Namun alangkah baiknya kalau bisa disatukan seperti negara-negara lain. Apa mungkin disatukan? Menurut al-Haqir, masih bisa disatukan dengan beberapa cara, diantaranya: Pertama, semua kaum muslimin dan organisasi Islam di Indonesia sepakat untuk mengikuti secara konsisten ketetapan (itsbat) hakim (pemerintah. Cq. Mentri agama). Hal ini sebagaimana kaidah Ushul Fiqh:
اقْتِضَاءُ الْحَاكِمِ إِلْزَامٌ يَرْفَعُ الْخِلَافَ
Artinya:“Keputusan hakim bersifat mengikat dan dapat menghilangkan perselisihan”. Akan Tetapi, sebelum (pemerintah. Cq. Mentri agama) menetapkan (itsbat), hendaknya pemerintah terlebih dahulu mengakomodasi dan mempertimbangkan pendapat atau penjelasan dari masing-masing perwakilan Organisasi Islam kaitannya dengan masuknya awal bulan Qamariyah berdasarkan metode yang digunakannya. Hal ini selaras dengan rekomendasi MUI (Baca: kumpulan fatwa MUI hal. 1047)
Dalam konteks penentuan 1 syawal (Idul Fitri 1444 H), diprediksi akan terjadi perbedaan. Hal ini dikarenakan irtifa’ hilal pasca ghurub matahari pada tanggal 20 April 2023, berada pada posisi yang sangat kritis (sulit untuk bisa diamati) karena hanya berada pada kisaran 1,4 derajat (berdasarkan perhitungan ilmu falak/astronomi). Apalagi, saat ini kriteria imkan rukyat yang dipedomani oleh kementerian agama sebagaimana kementerian agama di negara negara asia tenggara (MABIMS) yaitu 3 derajat, dan jarak elongasi 6,4 derajat. Maka dari itu, jika kita merujuk kepada kriteria imkan sebagaimana diatas, maka 1 Syawwal 1444 H (Idul Fitri) diprediksi akan bertepatan dengan tanggal 22 April 2023. (zam)
Tinggalkan Balasan