

Setiap 20 Desember, masyarakat global memperingati International Human Solidarity Day atau Hari Solidaritas Manusia Internasional. Peringatan ini berakar pada resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2005 yang menegaskan solidaritas sebagai nilai fundamental dan universal—sebuah fondasi moral yang seharusnya menopang hubungan antarbangsa, antarindividu, dan antarkelompok di dunia yang saling terhubung.
Solidaritas, dalam gagasan idealnya, bukan sekadar empati emosional, melainkan komitmen nyata untuk saling menopang, berbagi beban, dan memperjuangkan keadilan bersama. Namun dua dekade setelah deklarasi tersebut, realitas global justru menunjukkan bahwa solidaritas manusia masih kerap terfragmentasi, bahkan tereduksi, oleh kepentingan geopolitik, ekonomi, dan sosial yang saling berkelindan.
Konflik bersenjata di berbagai belahan dunia menjadi cermin paling nyata dari rapuhnya solidaritas global. Krisis kemanusiaan di Gaza, Ukraina, Sudan, hingga Yaman menunjukkan bahwa penderitaan manusia sering kali dinilai melalui kacamata kepentingan strategis. Dukungan kemanusiaan, kecaman, bahkan keheningan internasional kerap ditentukan bukan oleh skala tragedi, melainkan oleh posisi politik, aliansi militer, dan kalkulasi kekuatan global. Akibatnya, nyawa manusia seolah memiliki “nilai” yang berbeda tergantung di wilayah mana ia jatuh.
Di bidang ekonomi, solidaritas global juga diuji oleh ketimpangan struktural yang semakin melebar. Negara-negara maju kerap menyerukan kerja sama internasional, namun praktik perdagangan global, utang internasional, dan arsitektur keuangan dunia masih lebih menguntungkan segelintir pihak. Negara berkembang sering kali berada dalam posisi rentan, terjebak dalam krisis utang, inflasi pangan, dan ketergantungan impor, sementara mekanisme bantuan internasional berjalan lambat dan sarat syarat. Pandemi COVID-19 menjadi contoh gamblang bagaimana solidaritas diuji: distribusi vaksin yang timpang menunjukkan bahwa akses terhadap hak hidup pun dapat dipengaruhi oleh daya beli dan kekuatan politik.
Aspek sosial pun tak luput dari sekat solidaritas. Gelombang migrasi global akibat konflik, perubahan iklim, dan krisis ekonomi memperlihatkan paradoks dunia modern. Di satu sisi, globalisasi menghapus batas geografis; di sisi lain, batas identitas semakin mengeras. Para pengungsi sering dipersepsikan sebagai beban, ancaman, atau komoditas politik dalam kontestasi domestik. Narasi populisme dan nasionalisme sempit di berbagai negara mempersempit ruang empati, menggantinya dengan politik ketakutan dan eksklusivitas.
Perubahan iklim menambah lapisan kompleks dalam ujian solidaritas manusia. Negara-negara yang paling terdampak krisis iklim justru sering kali bukan penyumbang emisi terbesar. Banjir, kekeringan, dan bencana ekologis semakin sering terjadi di negara miskin dan pulau-pulau kecil, sementara komitmen global untuk menekan emisi dan menyediakan pendanaan iklim masih berjalan tersendat. Solidaritas lintas generasi—antara mereka yang menikmati hasil industrialisasi dan mereka yang menanggung dampaknya—belum sepenuhnya terwujud.
Meski demikian, secercah harapan tetap ada. Di tengah kebuntuan politik global, solidaritas kerap tumbuh dari akar rumput: organisasi kemanusiaan, relawan, jurnalis independen, dan masyarakat sipil yang terus menyuarakan keadilan. Teknologi digital memungkinkan solidaritas lintas batas melalui penggalangan dana, advokasi, dan penyebaran informasi. Namun solidaritas jenis ini sering kali harus berjuang melawan arus disinformasi, sensor, dan kelelahan publik.
Hari Solidaritas Manusia Internasional sejatinya bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan pengingat kolektif bahwa kemanusiaan tidak boleh tunduk sepenuhnya pada logika kekuasaan dan keuntungan. Solidaritas bukanlah konsep naif, melainkan prasyarat keberlanjutan dunia yang semakin saling bergantung. Selama kepentingan geopolitik, ekonomi, dan sosial terus mengalahkan nilai kemanusiaan, peringatan 20 Desember akan selalu menjadi refleksi pahit: bahwa solidaritas masih sering menjadi slogan, belum sepenuhnya menjadi tindakan bersama.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id



Tinggalkan Balasan