

Festival jazz memainkan peran penting dalam perkembangan dan penyebaran musik jazz, berfungsi sebagai platform bagi musisi untuk menampilkan karya mereka dan bagi penonton untuk menikmati serta memahami genre ini lebih dalam.
Namun, di Indonesia, terdapat perdebatan mengenai esensi festival jazz. Beberapa pengamat dan musisi berpendapat bahwa banyak festival jazz di Indonesia tidak sepenuhnya merepresentasikan genre jazz, melainkan lebih condong ke musik pop dengan label jazz. Musisi Djaduk Ferianto (alm) pernah mengkritisi bahwa beberapa festival terjebak dalam eksotisme dan gagal menerjemahkan makna jazz yang sebenarnya, yang sejatinya lahir dari masyarakat proletar dan bukan merupakan musik elite.
Menurut Djaduk, seharusnya event jazz ada satu tema. Tidak hanya memindahkan tempat saja. Banyak yang terjebak dalam eksotisme, sengaja kita mendekonstruksi jazz sebagai sesuatu yang elite.
Kalau melihat aspek historis, jazz itu lahir dari masyarakat proletar. Masuk Indonesia seakan-akan elite. Sekarang bahkan di dunia, festival jazz terbanyak hanya di Indonesia. Persoalannya, adalah hanya memindah (artis-artis), tetapi kita lupa mau bicara apa. Secara konten bisa dikatakan orangnya (artisnya) itu-itu saja.
Jazz punya kekuatan yang unik, para musisi jazz yang memang berangkat dari musik jazz, biasanya orientasinya untuk tidak menjadi populis, attitude-nya kelihatan sekali.
Ada namanya musician, dan artist-musician (seniman-musik). Musician itu seperti tukang, terjebak dalam aspek untuk terkenal. Tetapi seniman-musik, itu berbagi. Ada saatnya memberi dan menerima. Tidak menjadi bos, checksound pun datang.
Senada dengan itu, musisi Indra Lesmana menyarankan agar penyelenggara yang menghadirkan berbagai genre dalam festival mereka sebaiknya tidak menggunakan kata ‘jazz’ dalam nama acara, untuk menjaga keaslian dan pertanggungjawaban terhadap genre tersebut.
Bisa dibilang, Indonesia adalah salah satu negara yang sering punya event, entah itu showcase atau festival musik yang punya embel-embel “jazz” di dalamnya. Sebut saja Java Jazz, Jazz Gunung, Jazz Traffic, Ngayogjazz, Prambanan Jazz, dan banyak sekali semacamnya.
Menurut Indra, event-event tersebut bahkan sudah berjalan lama. Bukan setahun atau dua tahun belakangan saja. Tentu dengan pengunjung dan penikmat yang nggak sedikit, dengan harga tiket yang nggak bisa dibilang murah juga.
Kegelisahan Indra Lesmana mungkin menjadi kegelisahan para sebagian penikmat dan pelaku jazz. Meskipun kita bukan, bukan orang organizer, atau pengamat musik, tapi kegelisahan ini tetap muncul. Gimana nggak gelisah, namanya festival jazz tapi minim sekali menghadirkan musisi jazz sebagai headiners atau sebagai bintangnya. Musisi-musisi yang jadi bintang malah musisi yang dari genre lain, yang bahkan nggak ada irisan sama sekali dengan musik jazz.
Sah-sah saja sebenarnya semisal musisi pop atau musisi rock, bahkan musisi dangdut menjadi bintang dalam sebuah festival musik jazz. Tapi kembali lagi ke kalimat terakhir dari cuitan Indra Lesmana, bahwa jika mengadakan festival musik jazz tapi malah mengundang musisi yang multi-genre, atau malah lebih banyak musisi non-jazz ketimbang musisi jazz-nya, bagaimana pertanggung jawabannya? Bagaimana menjawab pertanyaan seperti, “Festival musik jazz kok nggak ada musisi jazz-nya?”
Di sisi lain, Peter Gontha, inisiator Java Jazz Festival, melihat bahwa jazz identik dengan generasi muda dan menekankan pentingnya regenerasi dalam ekosistem jazz, termasuk penonton dan musisinya.
Peter Gontha, meluruskan kesalahpahaman pandang bahwa genre musik jazz cenderung memiliki segmentasi yang diperuntukkan hanya untuk kalangan orang tua. Sebaliknya, ia menilai musik jazz, terlebih festival yang ia gagas, harus digeluti oleh anak-anak muda yang memiliki semangat dan kecintaan tinggi terhadap musik tersebut.
“Ada kesalahan pandangan bahwa jazz itu segmented. Memang benar bahwa tidak seperti musik dangdut, kebanyakan musisi jazz adalah anak sekolah (musik). Tetapi, sekarang segmentasi anak muda banyak sekali yang menuju ke jazz,” jelas Peter.
Peter mencontohkan selama beberapa kali gelaran The Jakarta International BNI Java Jazz Festival dengan menggamit musisi-musisi muda lintas-genre dan generasi, baik lokal maupun mancanegara, terbukti mendapatkan respons positif dari seluruh penikmat jazz yang hadir.
Secara keseluruhan, festival jazz memiliki peran signifikan dalam mempromosikan dan mengembangkan musik jazz. Namun, penting bagi penyelenggara untuk menjaga keaslian dan esensi jazz dalam festival mereka, serta memastikan bahwa genre ini tetap menjadi fokus utama, agar dapat terus menginspirasi dan menarik minat generasi muda.
—000—
Tinggalkan Balasan