

Tawakal adalah bentuk puncak keimanan seorang hamba kepada Allah SWT, yakni berserah diri sepenuhnya kepada-Nya setelah melakukan segala ikhtiar. Dalam Islam, tawakal bukanlah bentuk kemalasan atau pasrah tanpa usaha, melainkan sebuah sikap hati yang menyandarkan hasil akhir hanya kepada kehendak Allah SWT. Lalu, kapan sebenarnya seorang Muslim harus bertawakal? Apakah sebelum berusaha, saat berusaha, atau setelah berusaha?
Makna Tawakal dalam Islam
Secara bahasa, tawakal berasal dari kata wakala yang berarti menyerahkan atau mewakilkan. Sedangkan secara istilah, tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allah SWT dalam memperoleh manfaat dan menolak mudarat, dengan keyakinan penuh bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا
“Dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung.”
(QS. Al-Ahzab: 3)
Ayat ini menegaskan bahwa hanya kepada Allah kita harus bertawakal, karena hanya Dia-lah sebaik-baik penolong dan tempat bersandar.
Kapan Tawakal Dilakukan?
1. Setelah Ikhtiar Maksimal
Mayoritas ulama sepakat bahwa tawakal dilakukan setelah melakukan ikhtiar secara maksimal. Ini sebagaimana dijelaskan oleh ulama salafus shalih. Umar bin Khattab RA pernah berkata:
“Janganlah seseorang dari kalian duduk-duduk tidak bekerja, lalu berdoa, ‘Ya Allah, berilah aku rezeki,’ padahal dia tahu bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga berkata:
“Tawakal adalah amal hati setelah seluruh anggota badan melakukan usaha lahiriah.”
Dengan kata lain, seorang Muslim wajib mengerahkan segala upaya yang mampu ia lakukan, lalu setelah itu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Inilah hakikat tawakal: perpaduan antara usaha dan keimanan.
2. Saat dan Sebelum Berusaha (Sebagai Niat dan Doa)
Meskipun tawakal utama adalah setelah ikhtiar, namun niat tawakal sudah harus ada sejak awal. Saat seseorang memulai pekerjaan, niat bahwa segala usaha ini dilakukan karena Allah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah adalah bagian dari adab bertawakal.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi no. 2344, hasan shahih)
Hadis ini menunjukkan bahwa burung tidak hanya diam di sarangnya, tapi pergi mencari makan. Artinya, ada usaha dan tawakal sekaligus.
3. Saat Hasil Tidak Sesuai Harapan
Tawakal juga menjadi penguat jiwa saat apa yang diharapkan tidak tercapai. Dalam momen ini, seorang Muslim diajarkan untuk tetap yakin bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik. Allah berfirman:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)
Ulama besar, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan:
“Tawakal tidak akan tegak kecuali dengan tiga perkara: mengenal Allah, mempercayai janji-Nya, dan tunduk kepada ketetapan-Nya.”
(Madarijus Salikin, Jilid 2)
Tawakal adalah sikap yang dilakukan setelah usaha maksimal, namun dimulai sejak niat dan proses usaha, serta terus dijaga hingga menerima hasilnya, baik sesuai harapan maupun tidak. Tawakal bukan pengganti ikhtiar, tapi pelengkap keimanan setelah usaha dilakukan.
Dengan bertawakal secara benar, seorang Muslim akan terhindar dari rasa putus asa, sombong atas keberhasilan, maupun kecewa terhadap hasil. Ia yakin bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya.
—000—
*Ulama, tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan