
Surabaya (Trigger.id) – Fenomena premanisme yang berlindung di balik kedok organisasi masyarakat (ormas) masih marak dijumpai di berbagai wilayah. Meski tampak seperti masalah kekinian, praktik semacam ini sejatinya telah tumbuh sejak masa Orde Baru. Kala itu, sejumlah ormas sengaja dibentuk sebagai alat politik bagi kelompok tertentu.
Kini, berbagai ormas serupa tetap eksis dan mempertahankan praktik premanisme yang mengancam ketertiban sosial. Menanggapi kondisi ini, Dr Aribowo Drs MS, dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR), menyoroti sejumlah faktor penyebab mengapa ormas semacam ini terus bermunculan.
Lapangan Kerja Minim, Premanisme Subur
Menurut Ari, salah satu penyebab utama tumbuhnya ormas bermuatan premanisme adalah minimnya lapangan pekerjaan yang layak. Banyak dari ormas ini bergerak di sektor informal bahkan ilegal, seperti melakukan pungutan liar terhadap pelaku UMKM dan perusahaan.
“Negara gagal menciptakan lapangan kerja dan tidak menyediakan fasilitas yang mendorong kreativitas masyarakat,” jelasnya. Ia mencontohkan maraknya pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, yang kerap menimbulkan ketidakteraturan lalu lintas dan dianggap mengganggu keindahan kota oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
Ari menilai bahwa negara seharusnya hadir dan terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya ekonomi bersama masyarakat. Peluang kerja, peningkatan keterampilan, dan akses pendidikan harus diperluas agar masyarakat tidak terdorong masuk ke sektor yang melanggar hukum.
Peran Negara Menumpas Ormas Nakal
Pada masa lalu, pemerintah dikenal dengan praktik penembakan misterius (petrus) untuk menindak kelompok yang dianggap meresahkan. Namun, metode seperti ini dinilai bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan tidak layak diterapkan kembali.
Meski begitu, Ari percaya bahwa negara tetap memiliki kekuatan dan instrumen hukum untuk menindak tegas ormas-ormas yang melanggar tanpa harus menggunakan kekerasan. Namun, ia juga menyadari bahwa kedekatan antara ormas dengan elite politik menjadi tantangan tersendiri.
“Seringkali ormas-ormas itu justru dilindungi atau bahkan dipelihara oleh para elit politik,” ungkap Ari.
Dalam kondisi seperti ini, Ari mendorong masyarakat untuk lebih kritis, tidak hanya terhadap ormas, tetapi juga terhadap negara yang dinilai membiarkan atau bahkan menyuburkan praktik premanisme lewat sikap yang tidak tegas.
“Masyarakat harus berani menolak ormas-ormas yang jelas-jelas melanggar hukum dan tidak memberi ruang bagi mereka untuk bertumbuh,” tutupnya. (ian)
Sumber: Unair
Tinggalkan Balasan