
Jakarta (Trigger.id) — Menteri Agama (Menag) RI, Prof. Nasaruddin Umar, memberikan tanggapan atas penolakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap usulan penyembelihan dan distribusi hewan dam haji (denda pelanggaran ibadah haji) dilakukan di Indonesia, bukan di Tanah Suci. Menurut Menag, wacana ini masih dalam proses kajian mendalam dengan mempertimbangkan aspek fikih dan legalitas.
“Dam ini sedang kita cari jalan keluarnya karena di negara lain juga sudah ada yang melaksanakan hal serupa. Beberapa tokoh ulama kita juga sudah ada yang membolehkan,” ujar Nasaruddin usai Sidang Isbat Awal Zulhijjah 1446 H di Kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Selasa (27/5/2025) malam.
Menag menekankan bahwa meskipun MUI belum mendukung usulan tersebut, sikap MUI bukanlah penolakan mutlak. MUI, kata dia, hanya meminta kejelasan alasan hukum (illat) yang sah dan valid secara syariat terkait pelaksanaan dam di luar Tanah Haram.
“Majelis Ulama tidak melarang secara total. Mereka hanya meminta illat atau alasan hukum yang konkret dan legal. Kalau itu bisa dijelaskan, saya yakin MUI akan mengubah pandangannya,” ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal tersebut.
Ia menambahkan, Kementerian Agama saat ini tengah menyusun argumen fikih yang kuat untuk memenuhi permintaan MUI. Bila dasar hukum yang diajukan dapat diterima, Menag optimistis fatwa yang berlaku bisa direvisi.
Selain itu, menurut Menag, pelaksanaan dam di dalam negeri bisa mendatangkan manfaat ekonomi besar, khususnya bagi peternak lokal. Ia mencontohkan, jika 220 ribu jamaah haji menyembelih kambing di Indonesia, maka dampaknya akan sangat positif bagi ekonomi rakyat.
“Bayangkan kalau 220 ribu kambing disembelih di Indonesia, peternak kita pasti terbantu. Dagingnya juga bisa dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan di tanah air. Sementara jika disembelih di Arab Saudi, kita tidak tahu apakah benar jumlahnya sesuai dengan yang dibayarkan,” jelas Nasaruddin.
Meski belum bisa diterapkan pada musim haji tahun ini, Menag berharap wacana ini bisa terealisasi di tahun depan, dengan catatan seluruh aspek fikih dapat dipenuhi.
Di sisi lain, MUI menyatakan penolakannya terhadap wacana tersebut dalam surat resmi tertanggal 20 Mei 2025. Penolakan tersebut mengacu pada Fatwa MUI Nomor 41 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa penyembelihan dam tamattu di luar Tanah Haram tidak sah.
Namun, MUI menyatakan tetap terbuka untuk meninjau kembali fatwa tersebut apabila ada illat baru yang dapat dipertimbangkan secara syar’i. Dalam surat tersebut, MUI juga menyampaikan lima poin utama, termasuk apresiasi terhadap upaya pemerintah dalam memperbaiki tata kelola dam, namun menegaskan bahwa pelaksanaannya harus sesuai ketentuan syariah.
MUI juga merekomendasikan agar pembayaran dam tetap dilakukan melalui lembaga resmi yang menyembelih di Tanah Haram, seperti Adahi, Nusuk, atau lembaga lain yang diakui oleh otoritas Saudi. Selain itu, pengelolaan dam disarankan diintegrasikan dengan rencana pembangunan Perkampungan Haji Indonesia di Tanah Suci dalam jangka panjang.
MUI menganggap keputusan Menteri Agama Nomor 437 Tahun 2025 merupakan langkah positif dalam mencegah penipuan dan penyimpangan dalam pengelolaan dam. Namun, ketentuan dalam beleid tersebut yang membolehkan penyembelihan dam di Indonesia dinilai belum memenuhi syarat syar’i yang ditetapkan.
Dengan demikian, MUI menegaskan posisinya untuk tidak mendukung rencana penyembelihan dan distribusi dam di Tanah Air, hingga terdapat penjelasan syar’i yang sahih sebagai dasar perubahan fatwa. (bin)
Tinggalkan Balasan