

Di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI), muncul kekhawatiran di kalangan pendidik: Akankah peran guru tergantikan oleh AI? Pertanyaan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga menyentuh hakikat pendidikan itu sendiri.
Guru bukan sekadar penyampai materi. Mereka adalah teladan, pembimbing karakter, dan pendamping emosional bagi peserta didik. Namun, dengan kehadiran platform pembelajaran digital yang semakin canggih—dilengkapi fitur analisis perilaku, penilaian otomatis, dan bahkan kemampuan interaktif melalui chatbot AI—peran tradisional guru mengalami tantangan besar.
Guru Bukan Hanya Soal Materi
Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd., tokoh pendidikan Indonesia, menegaskan bahwa,
“Teknologi bisa menyampaikan pengetahuan, tapi tidak bisa membentuk kepribadian dan nilai. Di situlah letak kekuatan seorang guru.”
Dengan kata lain, AI mungkin bisa mengajarkan rumus matematika atau menjawab soal sejarah, tetapi tak bisa memahami mimik wajah siswa yang sedang kesulitan belajar atau mengalami tekanan emosional.
AI Sebagai Mitra, Bukan Pengganti
Pakar pendidikan dari Harvard University, Prof. Chris Dede, menyatakan bahwa,
“Artificial Intelligence should not be seen as a replacement for teachers, but as a partner that enhances what teachers can do.”
Dalam pandangan ini, AI idealnya menjadi alat bantu guru untuk lebih efektif—bukan menggantikan mereka. Teknologi dapat mempermudah personalisasi pembelajaran, mengelola penilaian, atau menyediakan data perkembangan siswa secara real-time. Namun, tetap guru yang menjadi pemegang kendali utama proses belajar.
Apa yang Harus Dilakukan Guru agar Tidak Tergantikan AI?
Para pakar menyarankan sejumlah langkah konkret agar peran guru tetap relevan dan bahkan semakin kuat di era digital:
1. Perkuat Kompetensi Sosial dan Emosional
Guru perlu menjadi pendamping emosional yang baik. Menurut Dr. Angela Duckworth, psikolog dari University of Pennsylvania:
“Character education—grit, empathy, and kindness—cannot be programmed into machines. Only humans can teach humanity.”
Karakter dan nilai moral adalah wilayah yang sangat manusiawi. Guru harus mengambil peran utama dalam mendampingi siswa menumbuhkan empati, integritas, dan kepercayaan diri.
2. Kuasai Literasi Digital dan Kolaborasi Teknologi
Guru yang melek teknologi tidak akan tertinggal. Dr. Najelaa Shihab, pendiri Sekolah Cikal dan aktivis pendidikan menyatakan:
“Guru masa depan bukan yang paling tahu, tetapi yang paling bisa belajar dan berkolaborasi.”
Artinya, guru harus terbuka terhadap perubahan, mampu menggunakan teknologi secara bijak, dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
3. Fokus pada Pembelajaran Kontekstual dan Bermakna
Pembelajaran yang kontekstual, relevan dengan kehidupan siswa, dan menggugah kesadaran sosial tidak bisa digantikan mesin. Guru yang mampu mengaitkan pelajaran dengan realita kehidupan akan lebih dihargai dan dibutuhkan.
4. Jadilah Role Model dan Inspirator
AI tidak bisa menjadi figur yang diteladani. Sosok guru yang menunjukkan keteladanan dalam perilaku, komitmen, dan semangat belajar sepanjang hayat akan tetap menjadi inspirasi yang tak tergantikan.
Penutup: Guru Tetap Tak Tergantikan
Di masa depan, peran guru bisa berubah, tetapi tidak akan lenyap. AI mungkin bisa menggantikan fungsi teknis, tetapi bukan peran emosional, sosial, dan spiritual guru dalam mendidik manusia seutuhnya.
Seperti dikatakan oleh Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan OECD:
“The heart of education is the relationship between teacher and student. That cannot be replaced by code.”
Pendidikan bukan sekadar transmisi ilmu, melainkan proses pembentukan manusia. Dan dalam proses itu, guru akan selalu menjadi jiwa dari pendidikan.
—000—
*Akademisi Univ. Wijaya Kusuma Surabaya
Tinggalkan Balasan