

Kasus bullying yang berdampak pada kematian Timothy Anugerah Saputera (22 tahun), masih segar dalam ingatan. Mahasiswa FISIP Universitas Udayana yang jatuh dari lantai empat gedung kampus itu, disinyalir akibat dirundung rekan-rekan kuliahnya. Beberapa kali pula kita disuguhi pemberitaan perundungan di lingkungan sekolah, pondok pesantren, atau kampus. Institusi setingkat TNI atau Polri pun, tidak luput dari “dosa” perundungan. Insiden kekerasan yang melibatkan sesama “oknum” aparat, tercatat beberapa kali terjadi. Bahkan hingga menelan korban jiwa.
Kini, bak cerita sebuah film, peristiwa tragis dengan sekala yang lebih besar terjadi di SMAN 72 Jakarta. Bersamaan salat Jumat, ledakan terjadi di masjid sekolah yang terletak dalam kompleks Kodamar TNI-AL. Ironisnya, pelakunya (17 tahun) diduga siswa setempat yang sering mengalami perundungan. Selain sangkaan paham radikal, aksi nekatnya sangat mungkin dilandasi perasaan balas dendam, akibat sakit hati dirundung.
Timbul pertanyaan, apakah perbuatannya tersebut terinspirasi kejadian di luar negeri, khususnya Amerika Serikat ? Misalnya peristiwa tragis mematikan, terjadi pada 24 Mei 2022. Salvador Ramos yang masih berusia 18 tahun, menembak mati 19 siswa dan dua guru, serta melukai 17 orang lainnya. Kejadiannya di Sekolah Dasar (SD) Robb-Uvalde, Texas, USA. Konon aksi nekatnya dilakukan, karena sejak kelas empat SD sering diganggu temannya (Lindell, Chuck, 2022). Di Negara Paman Sam, insiden serupa beberapa kali terjadi.
Perundungan dan kesehatan mental
Sejatinya perundungan merupakan tindakan agresif oleh seseorang yang memiliki kekuasaan (fisik, popularitas, informasi) yang lebih besar daripada korbannya. Pelakunya bertujuan menyakiti, menekan, atau merendahkan harkat martabat orang lain. Biasanya perbuatan itu dilakukan berulang kali, sehingga korbannya tidak berdaya, merasa disakiti secara fisik maupun mental. Dalam konteks interaksi sosial, kejadiannya tidak harus dalam bentuk kontak fisik, melainkan bisa melalui dunia maya (perundungan siber). Berbasiskan dunia digital, semakin memudahkan seseorang melakukan perundungan. Misalnya mengunggah foto yang memalukan, atau pelecehan melalui media sosial.
Berdasarkan riset, baik pelaku maupun korban perundungan, acap kali bermasalah dari sisi mental-kejiwaan. Korban yang masih anak atau remaja, bisa mengalami dampak luas dan berkepanjangan, dari sisi perkembangan kejiwaannya. Kecemasan, depresi, hilangnya rasa percaya dan harga diri, hingga gejala post-traumatic stress disorder (PTSD), berisiko terjadi. Jika tidak mampu menyesuaikan diri atau segera mendapatkan bantuan psikologis, gejalanya cenderung semakin memburuk. Efek menahunnya, berisiko memengaruhi kemampuan korban beradaptasi dalam aktivitas sosialnya. Kecenderungannya menarik diri dari pergaulan, berdampak pada prestasi akademiknya yang terkendala. Tidak jarang, sikapnya menjadi pemarah, menangis tanpa sebab yang jelas, timbul pemikiran menyakiti diri sendiri, bahkan keinginan mengakhiri hidup. Kadang orang-orang terdekatnya, misalnya kedua orang tuanya, tidak selalu mudah mendeteksi masalah anaknya. Sebab, gejalanya tidak terlalu spesifik. Contohnya sulit tidur, gangguan pola makan, sakit kepala, nyeri otot, hingga kehilangan gairah melakukan aktivitas yang biasanya justru disukai.
Pelaku bullying cenderung terjadi pada sosok yang memiliki rasa percaya diri tinggi, tetapi miskin rasa toleransi. Mereka acap kali pernah mengalami frustrasi dalam kehidupannya. Tidak jarang, pelaku cenderung menampilkan sikap menyimpang, agresif, terlibat aksi kekerasan, dan anti sosial. Prestasi akademiknya pun, umumnya kedodoran. Mereka lebih berpotensi terlibat penyalahgunaan zat, di kemudian hari.
Aksi perundungan oleh remaja, diputuskan oleh area otak yang sedang mengalami perkembangan. Sistem koneksi sel-sel saraf daerah korteks pre-frontal yang fungsional, tetap dipertahankan dan diperkuat. Sebaliknya koneksi yang tidak digunakan dalam proses berpikir, akan “dipangkas”. Selama proses perkembangan korteks pre-frontal berlangsung, pengambilan keputusan pada anak/remaja tergantung pada area amigdala. Bagian otak tersebut, menghasilkan pemikiran yang lebih aktif secara emosional, termasuk perbuatan agresi dan impulsif. Akibatnya keputusan yang diambil pun, cenderung berisiko. Alhasil, kondisi psikologis remaja masih dalam keadaan labil, khususnya dalam mencari identitas diri (Steinberg,2005).
Penting mencermati survei I-NAMHS, terkait kekhawatiran gangguan mental remaja di Indonesia. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyatakan, satu di antara tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Survei tersebut juga menunjukkan, satu dari 20 remaja mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Gambaran senada juga ditunjukkan oleh cek kesehatan jiwa gratis. Meski pelaksanaannya belum rampung, terdapat lebih dari dua juta anak dari 20 juta jiwa yang mengalami gangguan kesehatan mental. Mayoritas ditemukan di Jakarta (Kementerian Kesehatan,2025).
Tidak mudah mengidentifikasi, apakah seseorang sedang mengalami perundungan. Pasalnya, tidak sampai separo kasus yang melaporkannya pada otoritas yang berwenang. Diperlukan kerja sama semua pihak, khususnya teman sebaya untuk peduli saling membantu. Seperti juga penyakit fisik, deteksi dan pertolongan dini problem mental perundungan, berpotensi dapat dipulihkan.
—–o—–
*Penulis :
- Pengajar senior di :
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
- Catatan Harian Seorang Dokter
- Sisi Jurnalisme Seorang Dokter (dua jilid)



Tinggalkan Balasan