

Perubahan arah kebijakan nasional sejak kewenangan fiskal berada di tangan Purbaya telah menandai babak baru perjalanan Republik. Meski ia dan Sri Mulyani sama-sama mengusung mimpi tentang pertumbuhan bermutu, keduanya menempuh strategi berbeda—jika bukan berlawanan. Di tangan Purbaya, nasionalisme Prabowo menjadi jiwa penggerak; peran negara kembali menonjol, sementara dominasi swasta dipangkas. Ini menjadi antitesis dari model pembangunan Orde Baru yang bertumpu pada investasi, terutama investasi asing, yang kerap menggerus kedaulatan serta merusak lingkungan.
Model pembangunan itu tidak sekadar teknik ekonomi. Ia telah membentuk struktur kekuasaan, lembaga, hingga cara berpikir negara selama 50 tahun. Ersatz capitalism Orde Baru tumbuh menjadi kapitalisme penuh di era SBY dan mencapai puncaknya pada satu dekade kepemimpinan Jokowi. Sementara secara politik, arah pembangunan berubah drastis sejak UUD 18 Agustus 1945 diganti menjadi UUD 2002. UUD baru itu—hasil kompromi para sekuler kiri dan liberal radikal—memberi karpet merah pada kapitalisme global dengan meminggirkan fondasi filosofis para perintis bangsa. Kaum nasionalis dijadikan useful idiots untuk mengesahkan agenda yang pada akhirnya melemahkan kedaulatan rakyat.
Buah Pahit Pertumbuhan: Bencana Hidrometeorologi dan Kerusakan Bumi
Banjir, longsor, dan cuaca ekstrem yang menggulung Indonesia selama berminggu-minggu terakhir bukanlah musibah yang turun begitu saja. Ia adalah buah dari obsesi pertumbuhan ekonomi yang dipaksakan selama lima dekade di atas bumi yang semakin rapuh. Pertumbuhan tinggi dibayar dengan deforestasi, emisi karbon, dan ekosistem yang runtuh. Dunia mengalami pola serupa: kemiskinan tetap kuat mengakar, ketimpangan Utara–Selatan melebar, dan perebutan sumber daya tak kunjung berhenti. Sementara proyek net-zero emission lebih banyak berhenti di dokumen strategi dan panggung konferensi.
Pembangunan yang kita anut sejak Orde Baru dirumuskan sebagai peningkatan konsumsi energi, baja, dan beton per kapita—resep klasik industrialisasi berat yang memerlukan modal raksasa dan bahan baku murah dari alam. Model ini membawa Indonesia jatuh dalam middle income trap, atau yang lebih tepat disebut Dutch disease: struktur ekonominya stagnan seperti pada masa kolonial VoC—sebagai pemasok bahan mentah dunia.
Ironisnya, model ekonomi kolonial inilah yang dulu mengangkat Belanda menjadi kekuatan ekonomi besar Eropa. Kini, pola yang sama kembali membelenggu negeri yang merdeka dengan darah dan air mata.
Para Pemikir yang Lebih Dulu Memperingatkan
Pada awal 1970-an, The Club of Rome meminta MIT memodelkan arah kerusakan bumi melalui World Model, dan prediksinya terbukti mengejutkan akurat: bumi sedang melaju menuju batas ketahanannya. E.F. Schumacher dalam Small is Beautiful mengkritik pembangunan yang eksploitatif, sementara Ivan Illich menawarkan model konvivial society: pertumbuhan tetap ada, namun ditopang teknologi berenergi rendah yang memerdekakan manusia, bukan memperbudaknya.
Amartya Sen dan Elinor Ostrom memandang pembangunan bukan sebagai peningkatan konsumsi, tetapi perluasan kemerdekaan manusia melalui pengelolaan sumber daya bersama (common-pool resources) yang lestari.
Ironisnya, nilai dasar itu sebenarnya telah tertanam di dalam UUD 18 Agustus 1945—diteorikan oleh para ulama dan cendekiawan pendiri bangsa jauh sebelum Sen dan Ostrom memformulasikannya di Harvard atau Oxford.
Riba, Hutang, dan Ekonomi yang Menjerat
Pembangunan ekstraktif membutuhkan pembiayaan besar berbasis hutang ber-riba. Riba inilah instrumen paling elegan dalam eksploitasi global: negara kaya cukup mencetak uang out of thin air untuk membeli emas, minyak, kayu, kopi, atau nikel dari negara miskin yang harus mengorbankan hutan dan sungai mereka.
Inilah korupsi terbesar dan paling rapi dalam sejarah manusia. Dibandingkannya, korupsi di negara berkembang hanyalah amatir.
Mobil: Simbol Peradaban yang Salah Arah
Salah satu ikon peradaban modern adalah mobil—puncak hilirisasi tambang: baja, aluminium, karet, minyak, dan gas. Namun para perencana pembangunan gagal membedakan perbedaan eksistensial antara pohon dan mobil.
- Manusia dapat hidup tanpa mobil.
- Namun manusia tidak dapat hidup tanpa pohon.
Demi mobil, pohon ditebang, hulu hancur, kota sesak, udara tercemar, dan manusia menjadi budak energi—sebagaimana disebut Illich. Tanpa bahan bakar atau listrik, mobil tak lebih dari rongsokan mahal.
Kegagalan yang sama terjadi dalam membedakan mobil dan kapal, padahal Indonesia adalah negara kepulauan. Industri mobil disubsidi, dielu-elukan, dan dijadikan totem kemajuan. Sementara industri kapal—yang menjadi syarat utama Deklarasi Djuanda untuk menyatukan Nusantara—dimarjinalkan. Akibatnya:
- Hutan di hulu habis,
- kapal di laut berkurang,
- kota kehilangan ruang hijau,
- dan jalan raya dipadati budak energi.
Pembangunan yang Lupa pada Manusia
Pembangunan modern dijalankan dengan propaganda besar bernama modernisasi. Dua instrumen teknokratiknya adalah:
- Sekolah massal yang memaksa masyarakat menyesuaikan diri dengan mesin ekonomi industri, bukan mengembangkan kearifan yang mereka miliki.
- Televisi, yang menciptakan selera konsumsi dan gaya hidup yang semakin menjauhkan manusia dari bumi.
Dalam struktur seperti ini, bangsa-bangsa berkembang menjadi pasar sekaligus pemasok bahan baku murah bagi negara maju. Normanya dibangun, standarnya diatur, lembaganya dirancang untuk memastikan struktur kolonial tetap bertahan: No more, no less.
Menjemput Arah Baru
Jika pembangunan terus didefinisikan sebagai kenaikan konsumsi per kapita, maka Indonesia akan terus memproduksi bencana. Kita harus keluar dari paradigma “pertumbuhan demi pertumbuhan” menuju paradigma kelestarian demi keberlanjutan hidup manusia.
Arah itu sebenarnya telah digariskan oleh pendiri bangsa melalui UUD 18 Agustus 1945—konsep ekonomi tanpa riba, kedaulatan politik MPR, dan pengelolaan sumber daya sebagai anugerah bersama yang harus dijaga.
Indonesia tidak membutuhkan lebih banyak mobil, tetapi lebih banyak pohon, lebih banyak kapal, lebih banyak ruang hidup yang manusiawi. Bila tidak, biaya pertumbuhan yang kita bayar hari ini—bencana, polusi, ketimpangan, dan kerusakan ekologis—akan semakin mahal sampai akhirnya mustahil ditebus.
—000—
*Guru Besar Teknik Perkapalan Institut Tenologi 10 Nopember Surabaya



Tinggalkan Balasan