

Setiap 18 Desember, negara kembali mengulang narasi lama: pekerja migran adalah pahlawan devisa. Kalimat ini terdengar heroik, penuh apresiasi, dan seolah mencerminkan kepedulian. Namun di balik retorika itu, ada pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara jujur: apakah negara benar-benar melindungi para pahlawan tersebut, atau sekadar memanfaatkan keringat mereka sebagai angka dalam laporan ekonomi?
Dalam perspektif komunikasi sosial dan politik, istilah pahlawan devisa bukan sekadar ungkapan. Ia adalah konstruksi narasi yang membingkai pekerja migran sebagai penyelamat ekonomi, sekaligus secara halus membebaskan negara dari tanggung jawab struktural. Ketika remitansi mengalir deras, negara bangga. Tetapi ketika kekerasan, eksploitasi, atau kematian menimpa pekerja migran di negeri orang, respons negara sering kali lambat, defensif, bahkan reaktif setelah kasus tersebut viral di media sosial.
Di sinilah paradoks komunikasi negara bekerja. Pekerja migran dipuji secara simbolik, namun diperlakukan secara administratif. Perlindungan dikemas sebagai slogan, bukan sistem. Kehadiran negara terasa kuat di podium peringatan, tetapi lemah di ruang-ruang krisis yang nyata. Komunikasi negara lebih sibuk membangun citra kepedulian daripada memastikan keberlanjutan perlindungan.
Lebih problematis lagi, suara pekerja migran hampir tak pernah menjadi pusat narasi. Mereka lebih sering menjadi objek pemberitaan, bukan subjek yang berbicara. Kisah mereka disederhanakan menjadi angka remitansi atau tragedi yang menyentuh emosi publik. Padahal, di balik itu ada pengalaman ketidakadilan struktural, relasi kuasa yang timpang, dan minimnya akses terhadap mekanisme pengaduan yang aman dan manusiawi.
Era digital memperlihatkan ironi lain. Negara baru bergerak cepat ketika penderitaan pekerja migran menjadi viral. Algoritma media sosial seolah menggantikan sistem perlindungan. Keadilan menjadi soal atensi, bukan hak. Jika tidak ramai, maka sunyi. Jika tidak trending, maka tertunda. Ini menandakan kegagalan serius dalam komunikasi kebijakan publik yang seharusnya menjamin keselamatan warga negara tanpa syarat popularitas.
Narasi pahlawan devisa juga kerap menutupi akar persoalan yang lebih dalam: migrasi bukan pilihan bebas, melainkan hasil dari ketimpangan pembangunan. Lapangan kerja yang sempit, upah rendah, dan minimnya perlindungan sosial di dalam negeri memaksa jutaan warga mencari hidup di luar negeri. Namun kegagalan ini jarang diakui secara terbuka dalam komunikasi politik negara.
Peringatan Hari Pekerja Migran Internasional seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar seremoni. Negara perlu mengubah cara berbicara tentang pekerja migran—dari glorifikasi simbolik menuju pengakuan atas martabat dan hak. Dari narasi sepihak menuju dialog. Dari pencitraan menuju kebijakan yang berpihak.
Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah pekerja migran dihargai sebagai manusia dan warga negara, atau hanya sebagai sumber devisa? Jawaban atas pertanyaan ini akan tercermin bukan dari pidato peringatan, tetapi dari keberanian negara membangun komunikasi yang jujur, kebijakan yang adil, dan sistem perlindungan yang benar-benar bekerja.
Jika negara ingin terus menyebut mereka pahlawan, maka kewajiban moralnya adalah memastikan para pahlawan itu pulang dengan selamat, bermartabat, dan didengar suaranya.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id



Tinggalkan Balasan