

Mungkin publik internasional masih belum melupakan peristiwa nahas yang menimpa pesawat sipil Ukraina. Kejadiannya sudah “cukup lama”. Tepatnya tanggal 8 Januari 2020. Insiden itu menewaskan 176 orang penumpangnya. Kegagalan mengidentifikasi pesawat sipil dengan nomor penerbangan PS752, sebagai biang penyebabnya. Pesawat itu diduga sebagai pesawat militer “lawan”. Imbasnya ditembak jatuh oleh rudal Iran.
Penyakit autoimun yang kini melonjak prevalensinya di seluruh dunia, dapat dianalogikan sebagai penyakit akibat “salah identifikasi”/”salah sasaran”. Sistem imun yang tadinya bersifat protektif terhadap sel/jaringan tubuh, berubah menjadi “beringas” dan tidak terkendali. Sistem kekebalan tubuh itu justru menganggap sel/jaringan tubuhnya sendiri, sebagai lawan/antigen yang berbahaya. Efeknya memicu terjadinya inflamasi/peradangan/kerusakan kronis pada jaringan tubuh yang diserangnya itu.
Pada hakikatnya sistem imun manusia diciptakan-Nya untuk melindungi tubuh dari invasi berbagai macam mikroba. Tetapi dengan munculnya beragam faktor pemicu, menjadi “berbalik arah”. Sel/jaringan tubuh yang “tidak berdosa”, menjadi sasaran serangan sistem imun yang agresif. Akibatnya terjadilah berbagai macam manifestasi penyakit yang bisa bersifat lokal ataupun sistemis.
Autoimunitas lokal hanya menyerang organ-organ tertentu saja secara spesifik. Misalnya pada diabetes melitus (DM) tipe-1. Serangan sistem imun, berdampak pada rusaknya pankreas. Imbasnya hormon insulin tidak bisa diproduksi lagi. Mekanisme itulah yang kemudian memantik lonjakan kadar gula darah. Contoh penyakit autoimun lainnya yang menyerang secara spesifik organ tubuh tertentu (kelenjar tiroid) adalah penyakit Hashimoto. Dampaknya produksi hormon tiroid mengalami hambatan. Penyakit Hashimoto disebut juga hipotiroidisme.
Di sisi lain, agresi sistem imun tidak “tebang pilih” terhadap organ tertentu saja. Tanpa kecuali, semua sel/jaringan tubuh dapat menjadi sasarannya. Efeknya bisa menimbulkan manifestasi klinis, mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Contoh klasik penyakit autoimun sistemis adalah Lupus. Nama lengkapnya, Lupus Eritematosus Sistemis (LES).
Lupus Eritematosus Sistemis (LES)
Dasamuka adalah tokoh antagonis dalam cerita pewayangan Ramayana. Dialah Prabu Rahwana. Sebagai “manusia” yang dengan kesaktiannya, bisa menampakkan sepuluh muka, menggambarkan watak angkara murka yang bengis dan kejam.
Dalam dimensi lain, ada penyakit lupus yang dijuluki sebagai “penyakit seribu wajah”. Manifestasi klinisnya memang sangat heterogen, sehingga sering kali sulit dideteksi. Bahkan bisa “meniru”/menyerupai gambaran penyakit lain. Tidak mengherankan apabila penyakit itu mendapat julukan “great imitator” alias peniru ulung.
Dengan berbagai “keanehannya” tersebut, layak kiranya LES mendapatkan perhatian serius. Dampak klinisnya bisa fatal, bahkan mematikan. Sayangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya yang berpotensi mengancam jiwa itu, masih jauh dari harapan. Dengan melonjaknya penyakit “seribu wajah” itu dari tahun ke tahun, mestinya dapat diantisipasi dengan baik. Di tanah air, beberapa artis/selebriti terkenal, dikabarkan sebagai penyandang LES. Pun demikian dengan beberapa selebriti papan atas mancanegara.
Peradangan kronis yang ditimbulkannya, bisa menyasar pada semua organ. Meski kadang-kadang polanya berfluktuasi, antara remisi (fase tenang) dan kekambuhan/flare. Tanpa tatalaksana yang tepat, bisa berakibat fatal. Bahkan tidak jarang bisa berakhir dengan kematian.
Baca juga: Hari Lupus Sedunia, Waspada “Penyakit Seribu Wajah”
Epidemiologi
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terjadi tren peningkatan kasus LES di seluruh dunia. Diperkirakan terjadi pertambahan 100 ribu kasus per tahunnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Belum diketahui berapa angka pasti penyandang penyakit tidak menular itu. Menurut Kementerian Kesehatan, prevalensinya sebesar 0,5 persen terhadap total populasi. Artinya diperkirakan terdapat sekitar 1.250.000 kasus di negara kita. Tingkat morbiditas dan mortalitasnya pun cukup tinggi. Angka kesintasan (survival) mencapai 93 hingga 97 persen untuk lima tahun pertama. Tetapi angka kesintasan itu menurun hingga 53-64 persen, setelah 20 tahun. Pada umumnya infeksi menjadi penyebab kematian pada tahun-tahun awal penyakit. Dalam jangka panjang, sering mengakibatkan komplikasi penyakit kardiovaskuler yang pada akhirnya memicu kematian.
LES melibatkan banyak faktor risiko penyebab. Ada interaksi antara unsur genetik, hormon (jauh lebih berisiko pada perempuan usia subur), infeksi dengan mikroba tertentu, dan faktor lingkungan.
Baca juga: Viral Mandi Susu, Ironis Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Berbagai riset menyokong dugaan, bahwa pajanan ultraviolet (UV) sinar matahari sebagai faktor pemicu lingkungan yang dominan. Di atmosfer bumi, lapisan ozon (O3), oksigen (O2) dan uap air (H2O), secara selektif menyaring radiasi. Khususnya terhadap ultraviolet C (UVC) dan UVB. UVA menghasilkan sekitar 95 persen radiasi UV yang mencapai bumi. Karena lapisan ozon yang semakin menipis, berdampak lebih banyak UVB yang mencapai bumi. Hal itu sebagai salah satu efek polusi chlorofluorocarbon (CFC). UVB paling signifikan memantik terjadinya “luka bakar”, akibat pajanan UV dengan intensitas tinggi (sunburn). Pada individu yang rentan secara genetik, paparan UV dapat menginisiasi mekanisme peradangan sel-sel imun di bawah lapisan kulit. Karena itulah penggunaan CFC (untuk pengharum ruang, pendingin ruang, kulkas) dilarang di banyak negara.
Stres, baik yang berlatar belakang psikis maupun fisik, merupakan faktor pemicu penting lainnya. Hal itu berisiko menginisiasi aktivitas penyakit yang khas dengan gambaran ruam “kupu-kupu” di wajahnya. Umumnya penyandang LES merupakan individu dengan tingkat kepekaan yang lebih tinggi terhadap beban stres. Dampaknya sistem imun menjadi “goyah” dan cenderung menjadi lebih agresif. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, misalnya perceraian, kematian orang terdekat, kecemasan, atau stres di tempat kerja, bahkan kelelahan ekstrem atau kurang tidur, bisa berdampak buruk. Pasca pandemi COVID-19, semakin menunjukkan tren peningkatan penyakit autoimun, termasuk LES. Virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19, telah diketahui sebagai “inisiator” mekanisme autoimunitas.
Berdasarkan survei global yang dilakukan World Lupus Federation (WLF), sebanyak 89 persen penyandang lupus, kualitas hidupnya menjadi terganggu. Hal itu sebagai dampak disfungsi organ. Imbasnya:
- Menjadi pengangguran dan keuangannya tidak stabil
- Tidak dapat berpartisipasi dalam acara sosial
- Tantangan transportasi
- Masalah kesehatan mental
Mempertimbangkan lonjakan penyakit autoimun dan hasil survei tersebut, diperlukan upaya yang lebih intensif untuk meningkatkan pemahaman publik tentang LES. Segala usaha mendukung penelitian dan pengembangan pilihan pengobatan yang lebih baik, harus terus digalakkan. Sejatinya penyakit autoimun dapat dikendalikan dengan baik, melalui deteksi dini dan perhatian medis yang cermat. Risiko kerusakan organ lebih lanjut pun, dapat ditekan.
Dibutuhkan kerja sama yang intens dari berbagai pihak, organisasi, komunitas, lembaga sosial, dan profesional bidang kesehatan. Tujuannya untuk saling bahu-membahu, meredam angkara murka penyakit autoimun.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan