
Surabaya (Trigger.id) – Beberapa hari belakangan Citayam Fashion Week (CFW) menjadi perbincangan banyak kalangan. Tidak hanya di jagat digital tetapi di dunia nyata ternyata juga mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo dan juga akademisi.
Menurut Jokowi fenomena remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) di Dukuh Atas, Jakarta Pusat tersebut merupakan bagian dari kreativitas anak-anak remaja.
“Asal tidak menabrak aturan. Itu kan kreatif, karya-karya seperti itu, kenapa harus, kreativitas seperti itu, kenapa harus dilarang? Asal tidak menabrak aturan, tidak melanggar aturan,” ujar Jokowi di Istana Presiden Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 23 Juli 2022.
Jokowi meminta agar fenomena tersebut tidak perlu dipersoalkan. Menurut dia, asalkan kegiatan remaja SCBD positif, dirinya memberikan dukungan penuh. “Asalkan positif, saya kira nggak ada masalah. Jangan diramaikan lah, hal-hal yang positif itu diberikan dukungan dan didorong,” kata Jokowi.
Baca juga: Citayam Fashion Week Bentuk Artikulasi Kultural dan Identitas Fashion Anak Muda
Apa yang membuat CFW begitu menggugah orang untuk ingin datang atau hanya sekedar untuk ingin tahu agar tidak dipandang kurang update alias kudet?.

Mengutip Mepnews.id, ada komentar menarik dari Prof Dra Rachmah Ida MCom PhD, pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair), menilai ini salah satu contoh ketika anak-anak muda merebut ruang yang oleh budaya mainstream sering dikuasai oleh mereka-mereka yang telah punya debut.
“Mereka melihat area tersebut merupakan ruang publik baru yang selama ini tidak mereka dapatkan di media massa atau ruang publik yang terlalu elit,” sebutnya.
Tren busana, yang selama ini disetir kalangan menengah ke atas, berusaha diubah melalui fenomena ini.
“Mereka mencoba melakukan dekonstruksi terhadap barang-barang fashion yang tidak dapat dijangkau orang-orang di jalan, dengan cara menyajikan fashion jalanan yang tidak kalah menariknya dengan fashion yang biasa dinikmati kalangan middle-upper class,” jelas guru besar pertama bidang media di Indonesia itu.
Menurut Prof Ida, busana yang dipakai sekumpulan remaja itu mengartikulasikan kreativitas dalam berpakaian keren tanpa adanya merek-merek ternama dan elit.
“Mereka ingin mengkomunikasikan bahwa ini urban street fashion yang selama ini termarjinalkan, tidak diperhatikan, dan mungkin bahkan tidak diakomodasi oleh media populer karena dianggap tidak laku,” ungkapnya.
Bila dilihat dari tampilan, gaya yang ditunjukan di CFW cenderung unik dan berbeda. Hal itu merupakan bentuk dari liberated young people. Yakni, keinginan anak muda untuk membebaskan diri dari kungkungan kapitalisme melalui busana.
Diakui Prof Ida, keberadaan media sosial mendorong munculnya subkultur baru. “TikTok menjadi media sosial gratis yang diminati, termasuk pada middle-lower class. Sehingga subkultur yang selama ini termarjinalkan, tidak ada tempat, bisa bermunculan.”
Keberanian remaja-remaja di CFW menunjukan eksistensi lewat busana itu dipuji Ida sebagai keberanian mengutarakan kebebasan berpakaian. “Selama ini, secara tidak sadar, busana telah dikotak-kotakan. Ini busana identitas desa, identitas kota, dan sebagainya,” ucap dosen Ilmu Komunikasi Unair tersebut.
Kemunculan fenomena CFW dimaknai Prof Ida sebagai kemunculan subkultur yang harus bisa diterima. “Jangan hanya budaya yang dimiliki kaum elit saja yang diterima, namun budaya yang lain juga harus punya kesempatan untuk menunjukan eksistensi identitas mereka,” jelasnya. (ian)
Tinggalkan Balasan