

Indonesia adalah negeri megabiodiversitas yang diakui dunia. Namun di balik julukan itu, Sumatera kini memanggul luka ekologis yang kian menganga. Hutan menyusut, satwa mati berguguran, dan bencana ekologis menjadi rutinitas tahunan. Pertanyaan serius mengemuka: Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?
Penyatuan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan di era Presiden Jokowi menciptakan simpul birokrasi yang rumit: satu institusi harus mengurusi dua mandat besar yang sebenarnya saling bertentangan.
Kehutanan modern menekankan pemanfaatan hutan:
- Produksi kayu dan hasil hutan.
- Penyediaan habitat satwa.
- Pengelolaan air dan rekreasi.
- Lapangan kerja dan kepentingan ekonomi.
Fokus ini dekat dengan utilization dan management.
Sebaliknya, KLH bertugas menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan melalui:
- Regulasi, pengawasan, dan penegakan hukum.
- Pencegahan pencemaran.
- Kebijakan perubahan iklim.
- Ekonomi hijau dan mitigasi bencana ekologis.
Ini lebih dekat dengan proteksi dan governance.
Ketika dua orientasi itu digabungkan, arah kebijakan menjadi tumpang-tindih—dan celah pengawasan melebar.
Hasilnya terlihat jelas: pada 2016–2025 Aceh kehilangan 1,4 juta hektar hutan, sementara deforestasi besar juga terjadi di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Pada periode yang sama, puluhan gajah, harimau, dan satwa dilindungi lainnya mati sia-sia.
Derita Gajah Sumatera: Sunyi, Tragis, dan Terlupakan
Di tengah keheningan publik, Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) menjadi simbol paling menyayat dari runtuhnya tata kelola konservasi. Dalam tiga tahun terakhir saja, puluhan gajah mati—rata-rata satu ekor setiap bulan.
Beberapa di antaranya:
- Dargo, jantan 50 tahun — 25/09/2022
- Fitrie, betina muda 4 tahun — 17/10/2022
- Kery, betina 45 tahun — 18/12/2022
- Dwiki, jantan 35 tahun — 14/02/2023
Hingga akhir 2024 dan 2025, kematian terus berlanjut di Aceh, Riau, Bengkulu, dan Lampung. Banyak yang mati diracun, tersengat listrik, atau kehilangan habitat akibat pembukaan lahan.
Di Way Kambas, empat gajah mati sepanjang 2024 saja, termasuk anak gajah Rubado dan gajah jantan Dugul yang mati dalam kondisi mengenaskan.
Angka Hitam dari Balik Data
BBKSDA Riau mencatat 23 individu gajah mati di Tesso Nilo sejak 2015 hingga 2025. Tahun 2025 saja, sudah 5 gajah mati, dua di antaranya anak gajah. Di Aceh, 10 gajah mati sepanjang 2024, dan dua lagi menyusul pada awal 2025.
Data ini hanyalah puncak gunung es: banyak kematian tidak pernah terlaporkan. Setiap gajah yang mati bukan sekadar kabar duka ekologis, tetapi indikasi kegagalan sistemik. Akar masalahnya jelas:
- Deforestasi masif untuk kebun kelapa sawit dan HTI.
- Pemasangan jerat dan pagar listrik ilegal di sekitar kebun rakyat dan konsesi.
- Perburuan liar dan perdagangan gading.
- Timpangnya penegakan hukum.
- Koordinasi antarinstansi yang lemah.
Ketika ruang jelajah satwa menyempit, konflik dengan manusia tak terhindarkan.
Setelah Pemisahan KLH dan Kehutanan: Masalah Belum Selesai
Di era Presiden Prabowo, kementerian ini memang kembali dipisah. Namun masalah tidak selesai pada struktur, karena:
- Menteri yang ditunjuk bukan ahli di bidangnya.
- Kapasitas kelembagaan belum dibenahi.
- Instrumen pengawasan hutan tetap lemah.
Tanpa pemimpin yang memahami kompleksitas ekologi, hasilnya: kebijakan maju di atas kertas, tetapi gagal di lapangan.
Fakta Pahit: Izin Dilepas, Hutan Pun Lenyap
Sejak reformasi hingga kini, praktik pelepasan kawasan hutan terus terjadi:
- Zulkifli Hasan melepas 1,64 juta hektar kawasan hutan.
- Siti Nurbaya melepas 1,4 juta hektar hanya di Aceh.
Menjelang akhir masa jabatan, Presiden Jokowi bahkan membuka pintu izin tambang untuk ormas keagamaan — langkah yang memicu kontroversi luas.
Masyarakat bertanya-tanya:
Masih bisakah publik berharap APH mengusut semua ini secara adil dan transparan?
Jawabannya menggantung di udara. Wallahualam.
Seperti kata almarhum Prof. J.E. Sahetapy:, “Ikan busuk mulai dari kepala.”
Catatan Moral: Dari Kepedulian Menuju Aksi
Tragedi ekologis di Sumatera adalah cermin rapuhnya kepedulian bangsa. Ini bukan semata persoalan kementerian atau pejabat tertentu—tetapi soal etika lingkungan seluruh bangsa.
Kerusakan ini hanya dapat dihentikan jika:
- Pemerintah membenahi tata kelola secara serius.
- Penegakan hukum tidak tebang pilih.
- Akademisi kembali menjadi suara kritis, bukan sekadar konsultan proyek.
- Masyarakat berani bersuara dan menuntut transparansi.
- Dunia usaha menghentikan ekspansi tanpa batas.
Kelestarian tidak lahir dari slogan, tetapi komitmen nyata. Gajah, harimau, badak, orangutan, dan satwa-satwa yang tersisa adalah penjaga ekosistem kita. Ketika mereka mati, bagian dari kita ikut mati.
Jika negara tidak segera bertindak, sejarah akan mencatat bahwa kita adalah generasi yang menyaksikan kehancuran alam—dan tidak melakukan apa-apa. “Kau Peduli, Aku Lestari.” Salam Lestari!
000—000
*Pemerhati Lingkungan dan Satwa, tinggal di Surabaya



Tinggalkan Balasan