
Jakarta (Trigger.id) – Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 memasuki babak baru dengan berbagai perubahan sistem pelayanan dari Pemerintah Arab Saudi. Namun di balik upaya peningkatan kualitas dan efisiensi, sejumlah jemaah haji asal Indonesia justru mengalami ketidaknyamanan yang signifikan.
Salah satu kasus menonjol dialami oleh pasangan suami istri asal Lumajang. Sang istri sudah berada di Maktab Kesehatan Haji (MKH), sementara suaminya, Pak Umar Basor, masih tertahan di Madinah dan telah beberapa hari terpisah dari rombongannya di Kloter 4 Embarkasi Surabaya (SUB). Mereka menjadi korban dari sistem “tambal sulam kloter” yang diterapkan akibat ketidaksiapan regulasi dalam menghadapi perubahan besar dari pola pelayanan Muassasah ke Syarikah.
Sementara itu, suasana di Kota Mekkah tahun ini terasa jauh lebih lengang dibanding tahun-tahun sebelumnya, bahkan lebih sepi dari musim umrah. Pemeriksaan ketat oleh otoritas keamanan Arab Saudi diberlakukan di berbagai titik masuk ke Kota Mekkah. Ini merupakan bagian dari komitmen Kerajaan sebagai Khādimu al-Ḥaramayn asy-Syarīfayn (Penjaga Dua Kota Suci), untuk menjamin kenyamanan dan ketertiban ibadah para Duyufurrahman.
Langkah-langkah ketat ini turut berdampak pada fenomena sosial. Para gelandangan dan pedagang kaki lima yang biasanya ramai di sudut-sudut kota, kini hampir tak terlihat. Alhasil, jemaah kesulitan mencari oleh-oleh murah, dan aktivitas sedekah kini beralih kepada petugas kebersihan.
Selain itu, keberadaan jemaah haji ilegal atau “haji backpacker” hampir tak ditemukan. Semua haji tahun ini tampak legal, dilengkapi izin dan dokumen resmi, seiring ketegasan Saudi dalam menerapkan sistem Syarikah, bagian dari Visi 2030 untuk mendorong pertumbuhan sektor swasta.
Masalah Baru: Kloter Bertabrakan dengan Syarikah
Namun, titik persoalan muncul ketika Kementerian Agama RI tetap menggunakan sistem kloter (kelompok terbang), yang justru bertabrakan dengan sistem pelayanan delapan Syarikah yang ditunjuk Arab Saudi. Alih-alih memperkuat koordinasi, sistem ini menyebabkan jemaah dari satu kloter terpecah antara beberapa hotel berbeda dan dikelola oleh perusahaan yang berlainan. Dampaknya fatal: ada suami yang dipisah dari istrinya, bahkan orang tua yang tidak sekamar dengan anaknya.
“Seharusnya Kemenag RI membuat regulasi teknis yang jelas, misalnya Syarikah A melayani wilayah Jawa Barat, dengan prinsip 1 kloter 1 syarikah, 1 hotel,” ujar seorang pengamat haji yang enggan disebut namanya.
Tanggapan Dirjen PHU Kementerian Agama
Menanggapi berbagai keluhan ini, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag RI, Dr. Hilman Latief, memberikan penjelasan:
“Kami mengapresiasi perubahan sistem pelayanan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi melalui Syarikah. Namun kami akui, tahun ini merupakan masa transisi yang penuh tantangan. Kami sedang mengevaluasi pola kloter agar lebih sinkron dengan sistem baru Syarikah, termasuk menghindari pemisahan jemaah dalam satu keluarga.”
Lebih lanjut, Dr. Hilman menambahkan bahwa pihaknya sedang menyusun regulasi teknis untuk musim haji 2026 agar penempatan pemondokan, transportasi, dan layanan jemaah tidak lagi tumpang tindih antar-Syarikah.
“Prinsipnya, kenyamanan dan kebersamaan jemaah Indonesia adalah prioritas. Evaluasi menyeluruh akan kami lakukan, termasuk mempertimbangkan pembagian Syarikah per wilayah, agar jemaah dari satu daerah tetap bisa tinggal bersama.”
Hingga kini, Kemenag RI masih terus berkoordinasi dengan otoritas Saudi untuk mengatasi berbagai kendala yang muncul di lapangan. (ian)
Tinggalkan Balasan