
Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia. Namun, dalam ajaran Islam, kebahagiaan sejati bukan sekadar soal tawa, harta, atau jabatan—melainkan ketenangan jiwa yang datang dari hubungan yang benar dengan Allah SWT, sesama manusia, dan diri sendiri. Para ulama dan ahli hikmah merumuskan beberapa prinsip sederhana namun dalam makna, sebagai empat syarat hidup bahagia, yang sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Berikut penjelasannya:
1. Tidak Mengingat-ingat Kebaikan Sendiri
Salah satu penghalang kebahagiaan adalah merasa paling berjasa. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menyembunyikan amal saleh dan tidak mengungkit-ungkit kebaikan.
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: الْمَنَّانُ، وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Tiga golongan yang Allah tidak akan ajak bicara dan tidak akan menyucikan mereka pada hari kiamat: orang yang mengungkit pemberiannya…”
(HR. Muslim)
Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan utama dalam hal ini. Meski beliau memiliki amal luar biasa—menyelamatkan umat manusia dari kegelapan—beliau tetap rendah hati, tak pernah menyombongkan diri. Beliau bahkan sering menangis dalam salat malam, meskipun dosanya telah diampuni, karena merasa belum cukup berbuat untuk Allah SWT.
2. Selalu Mengingat Dosa dan Keburukan Diri
Orang yang bahagia bukan yang merasa suci, tetapi yang sadar bahwa dirinya penuh kelemahan dan terus beristighfar. Hati yang sering menangis karena dosa akan lembut dan dekat dengan Allah.
طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ، وَطُوبَى لِمَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ مِنْ غَيْرِ مَنْقَصَةٍ، وَطُوبَى لِمَنْ بَكَى عَلَى خَطِيئَتِهِ
“”Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aib dirinya dari memikirkan aib orang lain, beruntunglah orang yang tawadhu’ karena Allah tanpa merasa hina, dan beruntunglah orang yang menangisi kesalahannya.””
(HR. Thabrani)
Nabi Muhammad SAW, meskipun ma’shum (terjaga dari dosa), tetap beristighfar lebih dari 70 kali dalam sehari. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar tidak terlena oleh amal, tapi selalu introspeksi dan taubat.
3. Dalam Hal Dunia, Lihatlah yang Di Bawah
Salah satu resep utama agar hidup terasa cukup dan bahagia adalah qana’ah—merasa cukup dengan yang dimiliki. Islam mengajarkan agar dalam urusan dunia, kita jangan membandingkan dengan yang lebih kaya, tetapi lihatlah orang-orang yang lebih sedikit hartanya.
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang berada di bawah kalian (dalam hal dunia), dan jangan melihat kepada yang berada di atas kalian, karena itu akan lebih membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi SAW hidup sangat sederhana. Rumahnya sempit, makanannya sering hanya kurma dan air. Namun, beliau adalah manusia paling tenang dan bahagia karena hatinya tidak tergantung pada dunia.
4. Dalam Ibadah, Lihatlah yang Di Atas
Berbeda dengan urusan dunia, dalam urusan ibadah dan kebaikan, kita diajarkan untuk selalu bercermin pada mereka yang lebih unggul, agar kita terus termotivasi dan tidak cepat puas.
أَحِبُّوا الصَّالِحِينَ وَجَالِسُوهُمْ، فَلَعَلَّ اللَّهَ يَرْحَمُكُمْ إِذَا جَالَسْتُمُوهُمْ
“Cintailah orang-orang saleh dan dekatilah mereka, karena bisa jadi Allah akan merahmati kalian hanya karena kedekatan itu.”
(HR. Baihaqi)
Rasulullah SAW mengajarkan untuk selalu memperbaiki salat, memperbanyak amal, dan mengikuti jejak orang-orang yang mendahului kita dalam kebaikan. Beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad)
Kebahagiaan dalam Pandangan Islam
Kebahagiaan dalam Islam bukan soal memiliki segalanya, tapi bersyukur dengan yang ada, bertobat atas yang kurang, dan terus berusaha memperbaiki diri. Empat prinsip di atas mengarahkan kita pada hidup yang tenang, hati yang lembut, dan hubungan yang dekat dengan Allah dan sesama manusia.
Mari kita jadikan ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai pelita hidup. Sebab, beliau tidak hanya mengajarkan bagaimana hidup—tetapi bagaimana hidup bahagia, bermakna, dan selamat dunia akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
أَفْضَلُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“Orang yang paling beruntung adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.”
(HR. Tirmidzi)
*Akademisi Ubaya dan Penceramah, tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan