
Bung Tomo sebagai pelaku sejarah sadar betul bahwa radio siaran memiliki kekuatan ampuh dan sangat strategis menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo
Oleh: Isa Anshori (Pemred Trigger.id)

13 Pebruari menjadi penanda penting bagi sejarah kelahiran radio siaran. Media yang sangat berjasa dalam perkembangan peradaban manusia tersebut, kini harus berjuang keras untuk tetap eksis di tengah kepungan media masa yang lain termasuk hadirnya media sosial.
Keyakinan publik terhadap jasa radio siaran dalam upaya turut mempertahankan kemerdekaan tak terbantahkan. Saksi sejarah menorehkan tinta emas bagaimana radio siaran berjasa besar pada masa awal kemerdekaan,
Bung Tomo sebagai pelaku sejarah sadar betul bahwa radio siaran memiliki kekuatan ampuh dan sangat strategis menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo dalam upaya mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang baru seumur jagung.
Lewat Radio Pemberontakan, suara Bung Tomo terdengar menggelegar dan benar-benar membakar semangat juang arek-arek Suroboyo. Suara itulah yang tercatat dalam sejarah membuktikan bahwa radio siaran memiliki jasa besar pada bangsa ini.
Selain Bung Tomo, radio siaran menciptakan tokoh-tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tercatat nama Jusuf Ronodipuro. Sebagai reporter Hoyo Kyoku di Menteng Jakarta, pria kelahiran Salatiga tersebut terus berjuang menyiarkan berita kemerdekaan RI kala itu. Jusuf Ronodipuro juga tercatat sebagai pendiri Radio Republik Indonesia (RRI).
Lalu Abdul Rahman Saleh. Dahulu. Ia memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Pasca kemerdekaan RI diproklamasikan, melalui Siaran Radio Indonesia Merdeka, Rahman Saleh menyiarkan berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia hingga ke luar negeri.
Masa Keemasan Radio Siaran
Industri radio di Indonesia mengalami masa keemasan pada era 1980-1990. Pada periode ini radio memiliki beragam program favorit yang sangat eksis di telinga pendengar. Di tahun-tahun tersebut drama radio merupakan salah satu program yang paling ditunggu-tunggu.
Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai beralih ke siaran visual melalui televisi. Ditambah hadirnya internet, plus media sosial di dalamnya, diprediksi semakin membuat radio tertinggal jauh.
Kendati demikian prediksi ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Pengguna radio memang perlahan menurun, namun data Nielsen Radio Audience Measurement hingga 2020 radio masih memiliki pendengar yang signifikan. 67 persen netizen mendengarkan musik atau radio melalui platform sharing seperti Youtube atau Dailymotion. Survey Nielsen sebelumnya (2016) di 11 kota di Indonesia menunjukkan media radio siaran masih didengarkan sekitar 20 juta orang. (Ido Prijana Hadi dkk. 2023).
Hasil temuan Nielsen juga menunjukkan hingga kuartal ketiga 2016 terlihat bahwa 57% dari total pendengar radio berasal dari Generasi Z dan Milenial. Banyaknya pendengar dari dua kalangan ini memberikan harapan besar bagi radio di Indonesia. Pasalnya, kedua kelompok usia ini disebut sebagai masa depan yang akan membuat radio tetap eksis.
Pengelola radio siaran boleh bangga dengan eksistensi jumlah pendengar dan lama waktu mendengar, time spent listening (TSL) yang masih lumayan meskipun terancam turun. Namun apa yang bisa diharap ketika raihan jumlah pendengar tidak sebanding dengan kue iklan yang diperoleh.
Menurut data Nielsen yang dihimpun databoks.katadata.id, nilai belanja iklan di Indonesia mencapai Rp135 triliun pada semester I 2022. Pada paruh pertama tahun lalu televisi dan media digital terus menggerogoti pangsa pasar iklan media cetak dan radio.
Pangsa pasar iklan radio nasional per semester I 2022 hanya tersisa 0,3%, turun 13% (yoy) dari periode yang sama tahun lalu. Sementara pangsa pasar iklan cetak hanya sebesar 4,8%, turun 6% (yoy).
Sebaliknya, pangsa pasar belanja iklan televisi nasional meningkat menjadi 79,7%. Pangsa belanja iklan digital juga kini berada di dua digit, yaitu sebesar 15,2%.
Tak hanya di skala nasional, televisi juga meraih pendapatan iklan terbesar secara global. Meski begitu, raksasa teknologi seperti Google, Meta, dan Amazon bertumbuh pesat.
Konvergensi Tak Ada Kata Lain
Serangan dan penetrasi media sosial tak bisa dianggap sepele, terutama dalam meraih jumlah pengakses dan kue iklan. Seluruh media massa saat ini merasakan betul dampak media sosial.
Bagi media arus utama (mainstream media) mau tak mau harus berkonvergensi dengan media sosial. Makhluk tersebut tak boleh dihindari apalagi dilawan.
Belajar dari pengalaman di Radio Suara Surabaya, radio ini tetap eksis dan bahkan menjadi kiblat kesuksesan radio konvergensi di Indonesia. Errol Jonathans (alm) sebagai CEO Suara Surabaya Media sadar betul bahwa berkonvergensi dengan media sosial dan media digital yang lain justru menjadi kekuatan tersendiri bagi Radio Suara Surabaya.
Oleh Radio Suara Surabaya Media, media sosial (Tiktok, IG,FB,Twitter, Youtube) dijadikan sebagai etalase yang menguatkan eksistensi Radio Suara Surabaya di tengah gempuran berbagai platform media sosial tersebut. Orang bijak berpesan, Hindari perkelahian, kecuali Anda memang harus melakukannya. Radio Suara Surabaya memang tidak berkelahi dengan kekuatan media sosial, namun justru menggunakan kekuatan media sosial untuk bertempur.
Dalam konvergensi, sebenarnya ada upaya menghimpun kekuatan sekaligus mengelakkan pukulan atau serangan. Dalam ilmu bela diri kita diajarkan untuk lebih baik mengelak daripada menangkis serangan lawan. Karena jika menangkis pasti ada sesuatu yang diadu. Kita yang menang atau justru sebaliknya.
Konsistensi dalam kiprah menjadi media auditif harus tetap terjaga, sekaligus kelenturan dalam mengadopsi platform media lainnya harus dilakukan. Dengan kata lain Radio Konvergensi adalah upaya merawat energi menolak mati. Selamat Hari Radio Sedunia, jaya selamanya!!!
Tinggalkan Balasan