

Bencana banjir dan longsor di Sumatera kembali membuka borok lama pengelolaan hutan Indonesia. Di tengah kepanikan publik, sorotan langsung mengarah pada Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Anggota Komisi IV DPR RI, Usman Husin, bahkan terang-terangan meminta Raja Juli mundur karena dianggap tidak memahami urusan kehutanan. Kritik yang keras, tetapi tidak sepenuhnya tanpa dasar.
“Raja Hutan yang Hilang, Raja Juli yang Disalahkan?”
Raja Juli memang bukan rimbawan, bukan pula praktisi konservasi. Ia akademisi politik yang didapuk mengelola sektor yang menjadi penyangga masa depan negeri. Namun menyamakan ketidakpiawaiannya dengan sumber utama kerusakan hutan adalah lompatan logika. Ia hanya mewarisi tumpukan persoalan yang jauh lebih tua dari masa jabatannya.
Persoalan sederhana seperti kisruh pengelolaan Bandung Zoo saja tak kunjung selesai. Surat resmi, pesan pribadi, permohonan audiensi dari Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI) tak mendapat respons. Ini menunjukkan lemahnya sensitivitas kementerian terhadap isu konservasi, bahkan di level teknis. Padahal di dalam APECSI ada mantan Dirjen KSDAE, mantan direktur KKH, serta tokoh-tokoh kehutanan seperti Prof. Hadi Alikodra dan Prof. Emil Salim. Namun suara mereka pun tak terdengar di telinga pengambil kebijakan.
Fenomena ini mempertegas bahwa krisis kehutanan di Indonesia bukan soal satu orang, melainkan soal struktur kekuasaan yang menempatkan kehutanan—penyangga ekologi—di bawah bayang-bayang kepentingan tambang dan industri ekstraktif.
Indonesia adalah negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia, tetapi juga salah satu yang paling cepat kehilangan hutan. Dari 120 juta hektare hutan alam yang dulu kita miliki, kini Indonesia tercatat sebagai negara dengan laju kerusakan hutan terparah kedua di dunia. Setiap lima tahun, 1,3 juta hektare hutan hilang. Di belakang angka itu, ada habitat Badak Jawa, Harimau Sumatera, Orangutan, dan Gajah yang hilang—serta bencana yang datang silih berganti.
Namun menyalahkan Raja Juli saja tidak cukup. Kerusakan besar ini terjadi bukan dalam satu tahun, tetapi selama puluhan tahun. Era Orde Baru dikenal dengan penjarahan kayu. Era Reformasi dibanjiri ekspansi sawit. Era kini diwarnai maraknya pengurasan tambang. Kalimantan menjadi contoh paling gamblang—proyek IKN hanyalah salah satu bab dalam cerita panjang hilangnya hutan pulau itu.
Karena itu, ketika Raja Juli mengatakan ada 20 perusahaan yang izinnya akan dicabut atas restu presiden, publik menertawakan. Tetapi siapa pun yang mengikuti isu kehutanan tahu bahwa pernyataan itu tidak sepenuhnya naif. Pengusaha yang bermain di sektor ini bukan kelas ecek-ecek. Mereka punya koneksi, modal, dan jaringan yang menembus lingkar paling dalam kekuasaan. Bahkan sebagian bersinggungan dengan kepentingan bisnis pejabat tinggi negara.
Di tengah jejaring kepentingan sebesar itu, menuntut seorang menteri baru untuk “menghentikan kerusakan hutan” dalam satu tahun adalah tuntutan yang tidak realistis. Itu seperti meminta seseorang memadamkan kebakaran hutan yang sudah menyala selama dua dekade hanya dengan ember kecil.
Namun fakta bahwa kesalahannya tidak sebesar pendahulunya tidak berarti ia bebas dari kritik. Kementerian Kehutanan membutuhkan sosok dengan kompetensi ekologis, keberanian politik, serta kemampuan membaca peta konflik lingkungan yang kompleks. Dan sejauh ini, publik belum melihat ketiganya pada diri Raja Juli.
Apalagi, sebelum tahun 2025 berakhir, sudah tercatat sebelas Gajah Sumatera mati sia-sia. Puluhan Badak Jawa, Harimau Sumatera, dan satwa liar lain mati setiap tahun. Negara belum menunjukkan refleks yang memadai. Pemerintah gagap, publik frustrasi. Dan bencana alam menjadi bukti paling telanjang bahwa alam sedang menagih harga.
Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya yang tidak boleh diam adalah para rimbawan, aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat sipil. Karena dalam sejarah kerusakan hutan Indonesia, justru ketika para ahlinya bungkam, para perusak hutan bekerja paling leluasa.
“Orang pandai diam, orang bodoh akan semena-mena.
Orang baik diam, orang jahat akan makin berkuasa.”
Ketika hutan menjerit dan satwa-satwa mati tanpa suara, kritik publik bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban moral.
Among Satwa Amrih Lestari.
“Kau Peduli, Aku Lestari.”
—-000—
*Pemerhati Satwa Liar dan Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI)



Tinggalkan Balasan