
Oleh: Prof. Dr. Akhmad Muzakki – Sekretaris Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Rektor dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Apa yang akan Anda lakukan jika lebaran berbeda? Pertanyaan ini tetap saja terasa penting sebagai alat uji respon bersama terhadap perbedaan meskipun lebaran berbeda hari memang bukan sesuatu yang baru. Seiring dengan lebaran beda hari yang potensial berulang dalam sejarah Muslim di Indonesia, pertanyaan ini terus penting dijadikan sebagai bahan refleksi bersama.
“Saya akan ikut Muhammadiyah,” jawab orang pertama atas pertanyaan di atas. “Saya ikut NU saja,” begitu jawab orang kedua. Beda lagi jawaban orang ketiga: “Kalau saya, ngikut keputusan pemerintah saja.” Yang keempat beda pula: “Kalau saya sih, mana yang lebih dulu lebaran,itu yang akan saya ikuti.”
Ide ologisme dan pragmatisme tampak masih cukup kuat menghiasi respon publik Muslim terhadap perbedaan hari lebaran. Nama lainnya adalah idulfitri. Bagi yang cenderung ideologis, ketaatan kepada organisasi dan atau institusi yang menjadi afiliasiideologisnya dipandang sangat penting. NU dan Muhammadiyah adalah contoh kecil dari ideologi yang terinstitutionalisasi di negeri ini. Lainnya juga masih banyak, meskipun struktur dan skalanya kecil-kecil. Ideologi yang lebih mapan disebut dengan pemerintah. Respon mereka yang menjadikan NU atau Muhammadiyah atau pemerintah bisa dibaca sebagai representasi dari ideologisme.
Respon yang menyebut“mana yang lebih dulu yang akan diikuti”, seperti disebutkan oleh orang keempat di atas, bisa dibaca sebagai contoh konkretpragmatisme. Preferensi untuk segera mengakhiri puasa Ramadan adalah contoh konkretatasekspresipragmatisme. Sikap ini tak memedulikan dari siapa, dari mana dan atau dari institusi ideologi sapa keputusan berlebaran lebih dulu atas selainnya itu lahir. Yang penting, segera mengakhiri puasa dengan berlebaran. Titik. Itu sikapnya. Tak terpengaruh oleh ideologi apapun kecuali kepentingan praktisuntuk segera berlebaran.
Berlebaran di atas ideologisme dan pragmatisme di atas sejatinya beririsan langsung dengan sikap dan kematangan diri terhadap fakta perbedaan. Jika yang muncul adalah sikap yang menjadikan perbedaan sebagai ancaman, maka tindakan negatif mulai dari mengolok hingga menistakanakan menyeruak. Intinya, akan lahir dari sikap ini tindak praktik yang menjadikan perbedaan sebagai pintu masuk untuk memusuhi mereka yang berbeda itu.
Jika yang hadir adalah sikap yang menjadikan perbedaan sebagai potensi, maka akan lahir tindakan positif, mulai dari saling menenggang rasa hingga memperkuat harmoni di atas perbedaan yang ada. Alih-alih dijadikan sebagai pemantik disharmoni, perbedaan justeru digelorakan untuk membangun harmoni sosial di antara sesama umat Muslim yang memang berbeda latar belakang sosiokultural dan preferensi keyakinan keagamaannya.
Dari bentangan sikap yang mungkin muncul secara melebar dan cenderung kontradiktif atas perbedaan di atas, pilihan positif tentu harus diambil. Ukurannya adalah nilai kebermanfaatan untuk kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah). Menghormati pasti positif, sedangkan mengolok sudah barang tentu negatif. Membangun harmoni sudah pasti positif, sedangkan memecah belah sudah barang tentu tindakan negatif.
Untuk itulah, di luar kepentingan akademik dan kebutuhan untuk memajukan ilmu keislaman, kita tidak sepatutnya ikut “berantem” satu sama lain dengan melancarkan debat tanpa ujung atas preferensi yang diambil atas pilihan berlebaran. Apalagi, argumentasi fiqih dan dalil-dalilnyasudah lama dikembangkan. Juga sudah banyak ahlinya. Dan, masing-masing hadir dengan kekuatan logika dan normativitas hukum yang sama-sama kuat. Tak perlu ada yang menistakan.
Tugas kita semua sebagai publik Muslim adalah menjadikan perbedaan itu sebagai rahmat. Sebagai berkah. Sebagai pemantik kemuliaan. Bukan sebagai bencana. Apalagi lalu melahirkan sikap yang kontradiktif atas kewajiban menjaga harmoni sosial di tengah masyarakat yang multi kultural dan multi perspektif, termasuk atas presferensi keyakinan keagamaan. Nyorakin, mengejek, menghujat, dan bahkan menistakan orang-orang atau kelompok yang berbeda pandangan soallebaran adalah contoh-contoh sikap buruk yang akan meninggalkan defisit dan disentif kebaikan atas kehidupan bersama.
Betapa para ulama sudah berusaha dari awal perkembangan pembentukan hukum Islam (formative period of Islam) untuk selalu mencoba mendekati dan sekaligus memaknai fakta-fakta hukum atas berbagai perbedaan pendekatan dan pemahaman terhadap kasus tertentu. Pernyataanidzashahha al-hadits fa huwamadzhahbi(jika sebuah hadits sudah masuk kategori shahih, maka ia adalah madzhabku), seperti yang dikembangkan oleh al-Imam al-Syaf’i, adalah teladan baik bagaimana memahami, mendekati dan menyikapi perbedaan.
Jika di antara kita lalu mengembangkan sikap yang menistakan sesama atas dasar perbedaan berlebaran, pertanyaan reflektifnya begini: Apakah kita akan merasa lebih hebat dari para ulama yang telah jauh mengembangkan kematangan dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan? Apakah kita akan merasa lebih mulia dibanding yang lain atas pilihan atau preferensi hari berlebaran?
Jangan karena kita berada di era digitial yang produk teknisnya memiliki daya sebar dan daya dampak lebih meluas lalu kita mempraktikkan prinsip ini: khalif tu’raf (berselisihlah, maka kau akan dikenal). Prinsip ini biasanya dipraktikkan oleh para pengabdi sosmed begini: bertindaklah anti-mainstream, maka kau akan cepat terkenal. Lalu, dibuatlan konten digital yang menjadikan perbedaan sebagai komodita sunggahan utama demi mengejar target keterkenalan dan ketersohoran.
Berbeda dalam berlebaran adalah hal biasa. Juga bukan yang pertama. Maka, menjadi pribadi yang dewasa terhadap perbedaan adalah kemuliaan. Menjadi pribadi yang matang dalam menyikapi perbedaan adalah kebajikan. Mari jadikan perbedaan sebagai berkah. Jangan jadikan perbedaan sebagai musibah. Dewasa dan matang dalam bersikap atas perbedaan adalah kemuliaan. Karena, indikator konkret kedewasaan dan kematangan adalah kemampuan tidak saja dalam memaknai melainkan lebih-lebih mengisi perbedaan dengan kebermanfaatan bersama.
Tinggalkan Balasan