

Di tengah sawah-sawah hijau subur di Kabupaten Jembrana, Bali Barat, suara sorakan dan dentuman gong memecah keheningan pagi. Debu mengepul, kerbau-kerbau tangguh berpacu kencang menarik bajak kayu ringan yang disebut cikar. Inilah Makepung, tradisi pacuan kerbau yang tidak hanya menjadi ajang ketangkasan dan hiburan rakyat, tapi juga simbol dari kearifan lokal dan kebersamaan masyarakat agraris Bali.
Dari Lahan Sawah ke Arena Lomba
Nama makepung berasal dari bahasa Bali yang berarti “berkejar-kejaran”. Tradisi ini awalnya merupakan bagian dari kegiatan para petani saat membajak sawah, di mana mereka saling adu cepat dalam mencangkul atau membajak lahan. Namun seiring waktu, tradisi tersebut berkembang menjadi ajang perlombaan resmi yang rutin digelar, terutama menjelang musim panen.
Makepung tidak sekadar lomba adu cepat. Di baliknya, ada nilai-nilai gotong royong, kerja keras, serta rasa hormat terhadap alam dan hewan. Kerbau-kerbau yang dilibatkan dalam pacuan ini diperlakukan bak atlet. Mereka dirawat dengan penuh perhatian, diberi makanan terbaik, dan dilatih secara rutin oleh pemiliknya.
Seni dalam Kecepatan
Setiap tim makepung terdiri dari sepasang kerbau jantan yang ditarik oleh seorang joki berdiri di atas cikar. Sebelum lomba dimulai, kerbau-kerbau dihias dengan ornamen warna-warni dan lonceng kecil di leher mereka yang berdenting saat berpacu. Suasana menjadi begitu meriah, menyerupai pesta rakyat.
Yang menarik, Makepung bukan soal siapa yang paling dulu mencapai garis akhir. Dalam perlombaannya, dua pasang kerbau akan berpacu secara paralel, dan dinilai berdasarkan seberapa jauh salah satu tim mampu meninggalkan lawannya. Ini memberi dimensi strategi dalam kecepatan, di mana kekompakan dan keharmonisan pasangan kerbau menjadi penentu utama.
Ajang Pariwisata dan Pelestarian Budaya
Pemerintah Kabupaten Jembrana kini rutin menggelar Makepung Gubernur Cup dan Makepung Bupati Cup, dua ajang besar yang menarik ribuan wisatawan domestik maupun mancanegara. Para penonton bukan hanya menyaksikan kecepatan dan kekuatan, tapi juga menikmati warna-warni budaya lokal yang ditampilkan dalam tarian, pakaian adat, dan iringan musik tradisional Bali.
Selain sebagai destinasi wisata, makepung telah menjadi media pelestarian budaya dan identitas lokal. Generasi muda dilibatkan sebagai joki, pelatih, bahkan seniman yang merancang hiasan kerbau, menjadikan tradisi ini tetap hidup dan relevan di tengah gempuran modernisasi.
Tantangan dan Harapan
Meski tetap eksis, Makepung menghadapi tantangan: lahan sawah yang menyusut akibat alih fungsi lahan, serta minat generasi muda yang mulai menurun karena pilihan profesi yang semakin beragam. Namun demikian, berbagai komunitas lokal dan pemerintah terus mendorong regenerasi dan pelestarian lewat pendidikan budaya di sekolah-sekolah dan promosi digital.
Makepung adalah cermin dari kehidupan masyarakat Bali yang erat dengan alam, kerja keras, dan semangat kompetisi yang sehat. Ia bukan sekadar pacuan kerbau, melainkan narasi hidup tentang tradisi, kehormatan, dan kebersamaan yang diwariskan lintas generasi.
Di antara debu yang beterbangan dan semangat yang membuncah, Makepung terus berpacu—bukan hanya di atas lintasan sawah, tetapi juga di jalur sejarah dan budaya Nusantara yang kaya.
—000—
*Konten Kreator, tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan