Sudah maklum bahwa manusia merupakan makluk sosial yang keberadaannya tidak lepas dari keterkaitan dengan sesama manusia. Satu dengan yang lainnya saling mengisi dan saling melengkapi di berbagai aspeknya. Jika ditarik pada konteks kehidupan beragama, manusia diikat melalui aturan-aturan dalam menjalankan Agama yang disebut dengan syariat Islam. Termasuk Hal yang sangat prinsip bagi manusia tentang keyakinan kepada tuhan, yaitu Allah SWT.
Jadi, manusia itu secara praktis sehari-hari diikat dengan aturan agama dan secara ketuhanan diikat dengan tauhid. Keberadaan manusia dalam lintasan sejarah awalnya didesain oleh Allah menjadi manusia yang diunggulkan daripada makhluk lainnya. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya perintah untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai manusia pertama.
Di kalangan ahli ilmu, terjadi perdebatan tentang siapa yg paling unggul antara manusia dan malaikat. Sebagian ada yang mengatakan lebih unggul malaikat. Ada pula yang mengatakan lebih unggul manusia. Tapi yang jelas, manusia lebih unggul dan lebih mulia dari hewan.
Imam al- Ghazali memberikan pandangan: ” manusia itu lebih rendah dari malaikat dan lebih mulia dari hewan”. Ketika manusia dikendalikan oleh syahwatnya, ia menyerupai hewan, bahkan lebih rendah.
Perjalanan hidup manusia dengan berbagai macamnya, kadang membuatnya terperosok pada lembah yang menjauhkan dirinya dari fithrah sebagai manusia yang unggul dan mulia. Seperti kerakusan terhadap dunia, terhadap jabatan, munculnya kesombongan, dan tidak adanya kepedulian terhadap sesama.
Dari persoalan di atas muncullah pegeseran nilai ruhani bagi manusia seperti goresan rasa iri, dengki, dan menbenci terhadap sesama.
Lantas, bagaimana posisi puasa bagi manusia? Seorang ulama Mesir, Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi menguraikan sebagai berikut: Pertama, dalam ibadah puasa itu ada unsur munguatkan terhadap orientasi positif dan meneguhkan posisi akal manusia dari syahwat. Ketika akal menjadi raja atau pengendali dalam dirinya, bukan pada hawa nafsunya, maka manusia berpotensi besar untuk menjadi manusia yang terbaik (khairun nas)
Kedua, melalui puasa, manusia senantiasa ada perasaan di awasi oleh Allah (muraqabah) serta ada rasa malu kepadanya. Di saat potensi negatif itu muncul, ia diingatkan dengan setatusnya sebagai orang yang berpuasa yang secara dzahir dia tidak boleh makan, minum, jimak, dan segala hal yang membatalkan terhadap puasa.
Secara lebih subtantif, ia harus menjaga sekujur tubuhnya (jawarih) dari berbagai hal yang mengurangi bahkan membatalkan terhadap pahala puasanya. Dari muraqabah inilah hati manusia akan terbiasa menjauh dari dosa. Hatinya akan menjadi bening karena di dalam hatinya selalu ada Allah yang selalu mengintainya.
Ketiga, dengan berpuasa itu manusia bisa ingat terhadap keberadaan fuqara dan masakin. Sehingga, ada upaya untuk membantu dan mengasihinya. Tidak ada yang tahu akan arti kesengsaraan kecuali bagi orang yang pernah hidup dalam kesengsaraan. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya lapar kecuali bagi orang yang pernah kelaparan.
Dikisahkan oleh seorang ulama. Dulu ada seorang raja yang memilih kondisi lapar. Ketika di tanya: “Kenapa memilih lapar?” Sang raja menjawab: “Aku hanya ingin mengingat orang- orang yang selalu dalam kelaparan.”
Keempat, puasa itu ada upaya untuk mengetahui nikmat-nikmat Allah secara benar. Keberadaan sesuatu tidak dapat diketahui secara hakiki kecuali ketika tidak ada. Begitupun manusia. Ia bisa merasakan nikmatnya sehat setelah ia dalam kondisi sakit.
Kelima, melalui puasa, manusia memahami ketika dirinya dalam kondisi lemah dan membutuhkan orang lain. Ketika manusia paham pada posisi tu, kesombongan yang timbul dari dirinya menjadi hilang.
Dari lima uraian di atas, puasa tidak hanya sekedar menunaikan kewajiban saja. Puasa tidak hanya sekedar agenda tahunan yang hanya datang dan pergi begitu saja. Jauh dari itu, puasa mengajak umat Islam untuk meneguhkan jati diri yang hakiki sebagai seorang manusia: Manusia yang hati, fikiran, dan tenaganya di kendalikan oleh nilai- nilai agama.
Jika agama sudah menjadi ruh kehidupan seseorang, maka ia akan senantiasa berada pada jalur manusia yang unggul nan mulia. Semoga puasa kita dapat mengantarkan kita untuk menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu manusia yang lebih unggul dan mulia daripada hewan. Aamiin.
Tinggalkan Balasan