
Bekasi, Jabar (Trigger.id) – Gerakan peduli lingkungan berbasis agama kini semakin marak di Indonesia. Salah satu contoh nyata hadir dari Masjid Baitul Makmur di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, yang menjadi pelopor masjid ramah lingkungan. Dengan semangat menjaga bumi melalui ajaran agama, masjid ini memanfaatkan teknologi sederhana namun berdampak besar, seperti penggunaan keran hemat air dan sistem daur ulang air wudu.
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Baitul Makmur, Muhammad Suhapli, mengungkapkan bahwa berkat penggunaan keran khusus, air wudu yang digunakan dapat dihemat hingga 75 persen. Pengujian dilakukan dengan membandingkan dua santri yang berwudu secara bersamaan, satu menggunakan keran hemat air dan satu lagi tidak. Hasilnya menunjukkan penghematan air yang signifikan.
Air wudu yang sudah terpakai tidak langsung dibuang, melainkan dialirkan ke dalam tangki penampungan melalui pipa. Di tangki ini, air disaring menggunakan bahan alami seperti batu dan ijuk, sebelum disimpan di toren besar. Air hasil daur ulang ini kemudian digunakan untuk berbagai keperluan, seperti menyiram tanaman, memberi makan ikan lele, hingga memproduksi kompos.
Masjid ini juga memanfaatkan air hujan dan air bekas mencuci perlengkapan masjid dengan menyalurkannya ke sumur resapan. Sistem ini membantu menjaga ketersediaan air bahkan saat musim kemarau melanda.
Transformasi Masjid Baitul Makmur menjadi masjid ramah lingkungan dimulai sejak 2019, seiring dengan peluncuran program EcoMasjid oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Program ini bertujuan menjadikan masjid sebagai pusat ibadah sekaligus pusat edukasi lingkungan yang berkelanjutan.
Sebagai bagian dari upaya edukasi, Masjid Baitul Makmur membangun Eco Edu Park, sebuah taman edukatif yang memperkenalkan berbagai konsep ramah lingkungan kepada masyarakat. Di sini, pengunjung dapat belajar mengenai proses daur ulang air wudu, budidaya tanaman hidroponik, pemilahan sampah, hingga cara membuat kompos dari sampah organik. Nantinya, taman ini juga akan dilengkapi dengan rumah edukasi pilah sampah.
Masjid ini pun mengajak jemaah untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah. Jemaah dianjurkan membawa sampah bernilai ekonomis seperti botol plastik dan minyak jelantah dari rumah. Sampah tersebut kemudian dijual, dan hasilnya digunakan untuk mendukung operasional masjid serta biaya pendidikan sekitar 450 santri, termasuk pembiayaan pemasangan panel surya.
Menurut data Kementerian Agama tahun 2024, terdapat lebih dari 300 ribu masjid di seluruh Indonesia, belum termasuk ratusan ribu musala. Jumlah ini menempatkan masjid dalam posisi strategis sebagai pusat edukasi publik, termasuk untuk kampanye kepedulian lingkungan.
Direktur Riset PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iim Halimatusa’diyah, menekankan bahwa masjid memiliki potensi besar dalam membangun kesadaran lingkungan di kalangan umat Islam. Ia menilai bahwa peran tokoh agama sangat penting dalam menyuarakan isu-isu kontemporer seperti krisis lingkungan, karena pendekatan religius cenderung lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Namun, Iim juga menyoroti pentingnya edukasi berkelanjutan dan reinterpretasi hukum fikih yang relevan dengan isu lingkungan, terutama terkait penggunaan kembali air daur ulang untuk bersuci. Dengan pendekatan yang lebih progresif, pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pelestarian alam melalui ajaran agama akan semakin kuat.
Melalui gerakan masjid ramah lingkungan seperti ini, terlihat bahwa upaya menjaga bumi bisa dimulai dari tempat ibadah. Masjid bukan hanya menjadi pusat spiritual, tapi juga pusat perubahan sosial yang berpihak pada keberlanjutan alam. (bin)
Tinggalkan Balasan