
Gaza (Trigger.id) – Upaya internasional untuk menghentikan konflik di Gaza kembali menguat, meskipun pembicaraan antara Hamas dan Israel masih mengalami kebuntuan.
Seorang pejabat senior Hamas kepada BBC menyatakan bahwa para mediator kini tengah melakukan kontak intensif untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Namun, hingga kini belum ada proposal baru yang diterima pihaknya.
Presiden AS Donald Trump turut menyatakan optimismenya terkait perkembangan situasi di Gaza. Berbicara di Brussels, Trump mengatakan bahwa “kemajuan besar” telah terjadi sejak berakhirnya perang 12 hari antara Israel dan Iran pada Selasa lalu. Ia menyebut utusannya, Steve Witkoff, meyakini bahwa kesepakatan antara Israel dan Hamas “sangat dekat”.
Meski demikian, seorang pejabat Israel kepada Haaretz menyatakan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa belum ada perkembangan berarti dalam perundingan dan masih terdapat perbedaan pandangan yang besar antara kedua pihak.
Upaya mediasi yang melibatkan AS, Qatar, dan Mesir sempat terhenti sejak akhir Mei, setelah Hamas menolak beberapa poin penting dari proposal AS yang didukung Israel. Proposal tersebut mencakup gencatan senjata selama 60 hari serta pembebasan sebagian sandera, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.
Israel melanjutkan operasi militer di Gaza sejak 18 Maret setelah gencatan senjata dua bulan runtuh. Tujuannya adalah memberikan tekanan pada Hamas agar segera membebaskan sekitar 50 sandera, yang diyakini 20 di antaranya masih hidup.
Selain serangan militer, Israel juga memperketat blokade kemanusiaan sejak awal Maret. Blokade ini mulai dilonggarkan setelah 11 pekan, menyusul tekanan internasional dan peringatan dari para ahli bahwa sekitar setengah juta penduduk Gaza berada di ambang kelaparan.
Sebagai bagian dari solusi bantuan, Israel dan AS mendukung pembentukan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah lembaga distribusi bantuan alternatif yang tidak bergantung pada PBB. Lembaga ini menggunakan kontraktor keamanan swasta AS dan mengklaim telah membagikan lebih dari 44 juta paket makanan sejak mulai beroperasi pada 26 Mei.
Namun, PBB dan lembaga kemanusiaan lainnya menolak bekerja sama dengan GHF. Mereka menuding GHF mendukung tujuan militer Israel dan melanggar prinsip kemanusiaan. Banyak laporan juga menyebutkan bahwa warga Palestina yang mengantre bantuan sering menjadi sasaran tembakan di area distribusi yang berada dalam zona militer Israel.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sedikitnya 549 orang tewas dan 4.000 lainnya luka-luka sejak GHF mulai membagikan bantuan. Pada Rabu pagi, enam orang dilaporkan tewas akibat tembakan pasukan Israel saat menunggu bantuan di pusat Gaza, dan tiga lainnya tewas di dekat lokasi GHF di Rafah.
Israel membantah mengetahui adanya insiden tersebut, dan pihak GHF menyebut laporan itu sebagai tidak benar.
Sementara itu, warga Gaza mengungkapkan penderitaan mereka akibat serangan dan kelangkaan bantuan. Di Kota Gaza, puluhan pemakaman digelar untuk korban yang tewas ketika mencari bantuan.
“Ini bukan titik bantuan, ini titik kematian,” kata Abu Mohammed kepada Reuters.
Juru bicara Unicef, James Elder, yang baru saja mengunjungi Gaza, menyatakan keprihatinannya. Ia menilai bahwa selama akses makanan masih dibatasi, penduduk Gaza akan terus menghadapi pilihan hidup yang mematikan.
Serangan udara Israel juga menyebabkan kematian enam orang, termasuk seorang anak, di kamp pengungsi Nuseirat dan lima lainnya di Deir al-Balah pada Rabu pagi, menurut keterangan pejabat Hamas.
Lebih dari 860 warga Palestina dilaporkan tewas selama konflik Israel-Iran, yang diawali dengan serangan udara Israel terhadap program nuklir dan misil Iran, yang dibalas oleh Iran dengan rentetan rudal.
Situasi di Gaza kini menjadi lebih kompleks. Sebagian warga melihat berakhirnya konflik Israel-Iran sebagai peluang bagi tercapainya gencatan senjata, mengingat Iran merupakan pendukung utama Hamas. Namun, sebagian lainnya khawatir Israel kini akan lebih fokus pada Gaza dan meningkatkan intensitas serangan militernya.
“Kondisinya justru makin parah,” kata Nader Ramadan, warga Khan Younis. “Pengeboman semakin sering, kerusakan makin luas, dan serangan darat meluas. Yang kami rasakan hanya kehancuran.”
Adel Abu Reda, warga lainnya, mengatakan bahwa kesulitan terberat adalah mendapatkan bantuan. Barang-barang dijarah dan dijual dengan harga sangat mahal, sementara warga tetap menjadi sasaran tembakan saat mencoba mencari makanan.
“Apa yang bisa kami lakukan? Tembakan dan kematian terus kami rasakan setiap waktu,” ujarnya dengan pilu. (bin)
Sumber: BBC
Tinggalkan Balasan