

Kalimat di atas saya temukan di salah satu media online bertepatan ketika mendengar berita Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, Rabu (22/11/2023).
Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan Ketua KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi. Penyidik telah menyita sejumlah barang bukti, salah satunya dokumen penukaran valuta asing dalam pecahan mata uang Singapura dan dollar Amerika sekitar Rp7 miliar.
Penetapan Firli sebagai tersangka tersebut menjadi penegasan bahwa mustahil membabat ‘habis’ korupsi di negara demokrasi ini. Kenapa?, karena bagaimana kita bisa berharap korupsi bisa habis atau minimal berkurang jika ‘panglima perangnya’ saja melakukan tindakan pidana korupsi.
Sebelumnya, berdasarkan rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023, mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022, menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93.
IPAK merupakan indeks yang mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional. Semakin tinggi nilai IPAK atau mendekati 5, maka semakin tinggi budaya antikorupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, maka semakin menunjukkan budaya permisif korupsi di masyarakat.
- IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman. Nilai Indeks Persepsi 2023 sebesar 3,82, meningkat sebesar 0,02 poin dibandingkan Indeks Persepsi 2022 (3,80). Sebaliknya, Indeks Pengalaman 2023 (3,96) menurun sebesar 0,03 poin dibanding Indeks Pengalaman 2022 (3,99).
- IPAK masyarakat perkotaan 2023 lebih tinggi (3,93) dibanding masyarakat perdesaan (3,90).
- Semakin tinggi pendidikan, masyarakat cenderung semakin antikorupsi. Pada 2023, IPAK masyarakat berpendidikan di bawah SLTA sebesar 3,88; SLTA sebesar 3,93; dan di atas SLTA sebesar 4,02.
- Masyarakat usia 40 tahun ke bawah sedikit lebih antikorupsi daripada usia lainnya. Pada 2023, IPAK masyarakat berusia di bawah 40 tahun sebesar 3,92; sementara masyarakat berusia 40–59 tahun dan 60 tahun atau lebih memiliki IPAK yang sama, yaitu sebesar 3,91.
Dengan berubahnya status KPK yang sebelumnya lembaga independen dan kini harus menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara, sudah banyak yang mengkhawatirkan kinerja KPK.
LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut Peraturan Pemerintah tentang peralihan status pegawai KPK menjadi ASN kian menegaskan ketidak-independenan lembaga anti-rasuah tersebut.
Pasalnya kata Peneliti dari ICW, Lalola Easter, KPK sebagai lembaga yang independen semestinya bisa merekrut pegawainya secara mandiri tanpa terikat aturan di luar KPK.
Penegasan yang sama juga disampaikan Wadah Pegawai KPK. Ketuanya Yudi Purnomo mengatakan, perubahan status pegawai KPK menjadi ASN akan berimplikasi pada stuktur.
Pegawai KPK, katanya, otomatis berada di bawah koordinasi atau pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi (KemenPAN-RB) dan harus tunduk pada perundang-undangan tentang ASN.
“Bagaimana mungkin ada lembaga independen tapi pegawainya tidak independen?” ujar Yudi Purnomo kepada BBC News Indonesia beberapa waktu lalu.
Hilangnya Rasa Malu
Ketika Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi berupa pemerasan, ini menunjukkan telah hilangnya rasa malu berbuat korupsi di negeri ini.
Harusnya sebagai aparat penegak hukum, ia memberikan contoh nyata bagaimana menjadi sosok panglima atau pemimpin dalam pemberantaasan korupsi dan bukan sebaliknya.
Malu adalah bagian dari iman. Sehingga dapat bermakna jika seseorang telah hilang rasa malunya maka imannya juga layak dipertanyakan.
Perasaan malu itu meliputi tiga hal. Pertama, malu kepada diri sendiri, yakni perasaan malu di dalam hati, ketika akan melanggar larangan agama dan norma aturan lannya.
Kedua, malu kepada orang lain, yakni menjaga semua anggota badan dan gerak-geriknya dari hawa nafsu. Setiap akan melakukan perbuatan yang hina, ia malu jika sampai orang lain tahu dan akhirnya tidak jadi berbuat.
Ketiga, malu kepada Allah, artinya jika ia melakukan kekejian akan mendapat siksa yang pedih. Malu kepada Allah merupakan sendi utama dan dasar budi pekerti yang mulia. “Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.” (HR Tirmidzi).
Babat Korupsi Di Negara Demokrasi
Banyaknya koruptor yang tertangkap satu sisi merupakan prestasi aparat penegak hukum. Namun disisi lain menggambarkan bobroknya sistem negara. Bahkan pembentukan lembaga anti korupsi pun tak mampu mencegah. Ditambah lagi Ketua KPK Firli Bahuri tersandung kasus pemerasan.
Semua pihak menyerukan harus ada perubahan, dari mulai pendidikan anti korupsi, perbaikan pelayanan publik, hingga kembalikan kepada nilai-nilai Pancasila. Namun kenapa tak bisa menyentuh akar masalahnya. Korupsi masih merajalela di negeri ini.
Mudahnya kasus korupsi dalam berbagai bentuk dalam kontestasi pemilihan pemimpin, seakan menjadi penegas bahwa tidak ada ruang yang aman dari tindakan korupsi. Tahun politik seperti sekarang ini sebetulnya amat rentan tindak korupsi terjadi lagi, hendaknya rakyat mulai waspada dan belajar dari pengalaman. Belum pernah terjadi demokrasi melahirkan pemimpin bertakwa.
Ditambah lagi adanya keserakahan, rusaknya integritas abdi negara dan penguasa, toleransi atas keburukan dan lemahnya iman makin memudahkan korupsi. Segala perbuatan dilakukan bukan dengan standar halal haram, tapi kemanfaatan.
Berganti personil, dari berbagai kalangan tetap saja yang dihasilkan adalah pemimpin yang ramah terhadap kepentingan oligarki, sebab merekalah urat nadi kelangsungan pencalonan mereka hingga bisa duduk di tampuk pemerintahan. Imbal baliknya adalah segala kepentingan oligarki menjadi prioritas.
Islam Mengharamkan Korupsi dan Memberikan Sanksi
Islam memiliki berbagai mekanisme untuk mencegah korupsi termasuk dalam membangun individu berkepribadian Islam. Selain itu sistem hukum yang adil dan tegas diterapkan. Sebab korupsi tak hanya perkara mental yang bobrok tapi juga lemahnya sistem hukum dan sanksi di negara ini yang terus menerus memberi celah. Terlebih di tingkat elit, hukum tahu sama tahu yang berlaku.
Dikisahkan Aisyah Ra, Rasulullah SAW marah dan berkata, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
Tidak ada yang berubah pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Wallahualambissawab.
- Penulis adalah Pemimpin Redaksi Trigger.id
Tinggalkan Balasan