

Drama yang melibatkan Josep “Pep” Guardiola di Manchester City mencerminkan dilema yang sering terjadi di dunia olahraga, khususnya sepak bola: sulitnya membuat keputusan besar terhadap pelatih yang memiliki rekam jejak luar biasa tetapi menghadapi masa-masa sulit. Guardiola dikenal sebagai salah satu pelatih paling sukses dalam sejarah modern sepak bola, membawa Manchester City ke era kejayaan dengan gelar demi gelar, termasuk treble winners yang diraih pada musim 2022/2023.
Namun, sebagaimana yang sering terjadi di klub-klub besar, ekspektasi terhadap konsistensi performa tetap tinggi. Jika performa buruk terus berlanjut, bahkan pelatih sekaliber Guardiola tidak akan kebal dari kritik. Sheikh Mansour dan City Holding Group pasti berada dalam posisi yang sulit: menghormati apa yang telah diraih Guardiola atau mempertimbangkan perubahan demi masa depan klub.
Konteks ini juga menunjukkan betapa dinamisnya hubungan antara pelatih, pemain, manajemen, dan para penggemar. Ketika sebuah klub sebesar Manchester City menghadapi performa buruk, tekanan tidak hanya datang dari dalam klub tetapi juga dari publik yang menuntut hasil instan.
Catatan buruk Manchester City di bawah kepemimpinan Pep Guardiola, dengan hanya satu kemenangan dalam 13 pertandingan terakhir, benar-benar menjadi pukulan besar bagi klub sebesar The Citizens. Kekalahan sembilan kali dan hanya tiga hasil seri dalam rentang itu merupakan anomali dalam era dominasi klub di bawah Sheikh Mansour, yang sejak akuisisi pada September 2008 telah membangun City menjadi salah satu kekuatan utama sepak bola dunia.
Penurunan performa ini tentu saja mengejutkan, mengingat Guardiola dikenal sebagai pelatih yang membawa inovasi taktik, kedisiplinan, dan kesuksesan konsisten. Namun, rentetan hasil buruk ini mengindikasikan adanya masalah yang lebih dalam di tim.
Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi diantaranya keletihan mental dan fisik: Setelah kesuksesan bertahun-tahun, terutama treble winners yang menguras energi, ada kemungkinan pemain mengalami keletihan.Taktik Guardiola yang dikenal kompleks mungkin sudah mulai terbaca oleh lawan, sehingga memerlukan inovasi lebih lanjut. Cedera pada pemain kunci atau kesalahan dalam menyesuaikan formasi bisa menjadi faktor penurunan performa. Selain tu, klub besar seperti City selalu berada di bawah tekanan untuk terus menang, yang bisa memengaruhi performa secara keseluruhan.
Dengan tersisa dua pertandingan fase liga, secara matematis peluang City mendapatkan tiket otomatis ke babak 16 besar pun mengecil. Hanya tim yang masuk delapan besar fase liga yang boleh menggenggam tiket tersebut.
Pun dalam Carabao Cup. Ruben Dias dan kawan-kawan tersingkir pada 16 besar setelah menyerah di tangan Tottenham Hotspur.
Padahal, di bawah asuhan pelatih asal Catalunya itu City dominan dalam beberapa musim terakhir.
Tersingkirnya Manchester City dari persaingan gelar Liga Inggris tahun ini adalah sinyal perlunya evaluasi besar-besaran, baik dari sisi manajemen, pelatih, maupun pemain. Apakah ini berarti akhir dari era Guardiola di City, atau justru menjadi peluang baginya untuk membuktikan sekali lagi bahwa ia mampu membawa tim kembali ke jalur kemenangan?.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id
Tinggalkan Balasan