
Karanganyar (Trigger.id) – Di ketinggian 1.496 meter di atas permukaan laut, di lereng barat Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, berdiri sebuah peninggalan sejarah yang sarat makna: Candi Cetho. Dikelilingi hamparan kebun teh dan panorama pegunungan, candi bercorak Hindu ini tak hanya memikat mata, tetapi juga menyimpan kisah panjang dari masa ke masa.
Asal Usul Nama dan Sejarah Awal
Nama Cetho diambil dari nama desa tempat candi ini berdiri. Dalam bahasa Jawa, cetho berarti “nampak jelas”, menggambarkan pandangan luas yang bisa dinikmati dari ketinggian candi—menyapu perbukitan, sawah, dan langit biru tanpa batas.
Candi Cetho diyakini dibangun pada abad ke-15, menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit. Saat itu, pengaruh Hindu semakin terdesak oleh perkembangan Islam di pesisir utara Jawa. Para pengikut setia Majapahit memilih mengungsi ke lereng Gunung Lawu, mendirikan tempat pemujaan yang juga dipercaya sebagai lokasi moksa Raja Brawijaya V.
Penemuan Kembali dan Pemugaran
Candi ini pertama kali ditemukan oleh arkeolog Belanda, Van der Vlis, pada 1842. Penelitiannya dilanjutkan oleh W.F. Stutterheim, K.C. Crucq, dan A.J. Bernet Kempers. Saat ditemukan, candi hanya berupa reruntuhan batu berlumut dengan 14 teras bertingkat, memanjang dari barat ke timur. Kini, jumlah terasnya tinggal sembilan setelah pemugaran pada 1978, yang sayangnya mengubah sebagian struktur aslinya.
Makna Filosofis dan Simbolik
Bagi masyarakat Jawa Kuno, Gunung Lawu adalah tempat suci, kediaman para dewa. Tak heran jika orientasi Candi Cetho menghadap langsung ke puncaknya. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat ruwatan—ritual pembebasan dari kutukan atau marabahaya—yang tercermin dari berbagai simbol dan arca di setiap terasnya.
Di teras ketiga, misalnya, terdapat batu berbentuk kura-kura raksasa dan simbol phallus sepanjang dua meter. Kura-kura melambangkan penciptaan alam semesta, sedangkan phallus melambangkan penciptaan manusia. Relief kisah Samudramanthana dan Garudeya di teras keempat semakin menguatkan peran candi ini sebagai pusat ritual penyucian diri.
Teras-teras lainnya menampilkan arca tokoh legendaris seperti Sabdapalon dan Nayagenggong, arca kuntobimo, hingga perwujudan Prabu Brawijaya V sebagai mahadewa. Teras kesembilan, yang dianggap paling suci, hanya dibuka pada acara keagamaan tertentu bagi umat Hindu untuk bersembahyang.
Candi Hidup di Masa Kini
Kini, Candi Cetho tak hanya menjadi objek wisata sejarah, tetapi juga tetap difungsikan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Dari pukul 08.00–17.00 WIB, pengunjung dapat menjelajahi setiap teras dengan tiket masuk Rp10.000 untuk wisatawan domestik dan Rp30.000 untuk wisatawan mancanegara.
Lokasinya juga menjadi salah satu jalur resmi pendakian Gunung Lawu, memberi kesempatan bagi para pendaki untuk memulai perjalanan spiritual dan alamiah dari titik bersejarah ini.
Harmoni Alam, Sejarah, dan Spiritualitas
Mengunjungi Candi Cetho bukan sekadar perjalanan wisata, melainkan juga perjalanan waktu. Setiap batu, relief, dan teras memuat cerita tentang kejayaan Majapahit, keyakinan spiritual masyarakat Jawa, dan usaha melestarikan warisan budaya. Di sini, alam dan sejarah bertemu dalam harmoni, menghadirkan pengalaman yang cetho—jelas—bagi siapa saja yang datang. (bin)
Tinggalkan Balasan