Lazimnya dalam menyongsong suatu kontestasi Pemilu, semua pasangan Capres-Cawapres akan melakukan kampanye politik. Visi-Misi yang mereka sampaikan, pada dasarnya merupakan pendidikan politik, dalam upaya menarik simpati para calon pemilih. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, ikrar politik tidak akan semuanya dapat direalisasikan. Masyarakat sebagai pemilih, berhak mengkritisi dan menakar probabilitas keberhasilan suatu ikrar politik.Itu bisa dikategorikan realistis atau hanya “janji kosong” belaka. Harusnya publik yang semakin dewasa dalam menyikapi perkembangan politik di tanah air, dapat menilainya dengan cermat. Realisasi ikrar politik harusnya bisa ditelaah berdasarkan adanya data valid yang terukur, memiliki parameter yang terpercaya, dan mestinya dapat dibuktikan.
Sebagai pemilih pemula, sebagian Generasi Z ( Gen Z)yang lahir antara tahun 1997-2012, perlu meningkatkan wawasan dan kecerdasan politiknya. Harapannya agar mereka tidak hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka. Sebagaimana telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada sebanyak 204,8 juta pemilih yang telah terdaftar pada Pemilu 2024. Generasi milenial/ Gen Y ( kelahiran 1981-1996) menjadi pemilih terbanyak dengan proporsi sebesar 33,60 persen. Peringkat berikutnya berturut-turut ditempati oleh Gen X (kelahiran 1965-1980) sebesar 28,07 persen, Gen Z (22, 85 persen), dan Baby Boomers (kelahiran 1946-1964) dengan proporsi 13,73 persen. Pemilih muda yang tergolong dalam rentang usia 17-40 tahun,akan mendominasi jumlah pemilih. Proporsinya sekitar56,45 persen.Berdasarkan Undang-Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, menyatakan bahwa pemuda adalah WNI yang berumur 16 hingga 30 tahun. Populasi tersebut pada tahun 2022, terdapat sekitar 65,82 juta jiwa atau 24 persen total jumlah penduduk Indonesia.
Problema Pemuda
Ada sejumlah problem yang khususnya banyak dihadapi pemuda. Di antaranya persoalan yang terkait dengan pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kesehatan. Ketiganya saling terkait. Mayoritas mereka saat ini sedang dalam fase menjalani pendidikan. Sebagian yang lain mungkin telah bekerja, menikah, atau bahkan tanpa aktivitas sama sekali alias pengangguran. Pemerataan pendidikan masih menjadi masalah krusial di negeri ini. Dengan berbagai latar belakang penyebab, rata-rata pemuda Indonesia hanya bisa mengenyam pendidikan formal hingga tamat SMA atau sederajat. Proporsinya mencapai 39,6 persen (Badan Pusat Statistik/BPS,2022). Mereka yang “beruntung” memperoleh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, mencapai 10,97 persen. Sisanya hanya mampu menamatkan pendidikan SD atau sederajat (10,83 persen), tidak tamat SD (1,79 persen), dan tidak pernah sekolah (1,02 persen). Secara umum, rata-rata lamanya pendidikan pemuda Indonesia, hanya sekitar 10,94 tahun.Bagi pemuda penyandang disabilitas, kesempatan mengenyam pendidikan mereka rata-rata hanya sampai 7,71 tahun. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara pemuda di perkotaan dan pedesaan. Sebanyak 44,18 persen pemuda perkotaan, mampu menamatkan pendidikan sampai bangku SMA. Di sisi lain, sebanyak 39,09 persen pemuda di pedesaan, bisa menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMP/sederajat.
Pada dasarnya pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital), dalam rangka pembentukan kualitas sumber daya manusia (SDM). Artinya pendidikan merupakan kunci utama membentuk karakter yang mampu menyerap perkembangan teknologi.Kapasitasnya pun dengan sendirinya akan meningkat dalam menciptakan kesempatan kerja, produktivitas, kesejahteraan, dan kesehatan.
Menurut Kementerian Keuangan, salah satu upaya penting meningkatkan SDM Indonesia adalah alokasi APBN. Sejak tahun 2009 hingga kini,mandatory spending untuk pendidikan negara kita, dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN. Meski demikian beberapa indikator, misalnya Human Capital Index (HCI) Indonesia hanya mencapai 0,54. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan skor HCI Singapura (0,88), Vietnam (0,69), dan Malaysia (0,61). Diperlukan pemikiran yang out of the box dan terobosan kebijakan,dari calon pemimpin negara ini dalam mengatasi persoalan pendidikan.
Indonesia digadang-gadang akan menyongsong bonus demografi. Puncaknya diprediksi terjadi tahun 2030-2035. Banyak harapan bahwa hal itu akan mendatangkan berkah. Tetapi bila gagal memanfaatkannya, peluang emas tersebut malah akan menjadi beban negara. Kegagalan negara mencetak SDM yang unggul dan terciptanya lapangan kerja yang cukup, justru akan memicu terjadinya resesi ekonomi.
Pasca pandemi COVID-19, kondisi perekonomian Indonesia belum mampu menyerap tenaga kerja baru dan mengurangi kemiskinan secara substansial. Menurut BPS, tingkat pengangguran terbuka pada November 2023, mencapai 5,32 persen.
Pengangguran dapat memantik ketegangan finansial, berupa margin arus kas yang rendah. Keadaan ini cenderung akan meningkatkan stres dan berisiko mengganggu kesehatan mental. Mereka memiliki kerawanan yang sangat tinggi terhadap tekanan psikologis dan kesejahteraan jangka panjang. Kesehatan mental yang buruk, seperti kecemasan, depresi, peningkatan kortisol (hormon stres), akan memicu efek beranting. Bentuknya bisa berupa manifestasi penyakit kardiovaskuler (tekanan darah tinggi, jantung, strok) dan kematian. Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) juga menjadi salah satu bentuk pelarian terhadap permasalahan kehidupan
Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap perempuan, dan upaya bunuh diri pun, dapat meningkat karenanya. Itu merupakan salah satu akibat kegagalan dalam mengelola cobaan hidup.Sepanjang tahun 2022, terdapat 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan.Angka tersebut berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Kasus kekerasan di ranah personal (ruang lingkup rumah tangga atau domestik),menjadi kasus yang dominan (18.138 kasus). Kecenderungannya akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan kasus bunuh diri yang juga cenderung semakin meningkat. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023, ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia.Satu tahun sebelumnya, yakni selama 2022, jumlahnya “hanya” 900 kasus.Pemuda dan remaja, menduduki proporsi terbanyak yang terlibat.
Menurut Kementerian Kesehatan, satu dari lima penduduk Indonesia, berpotensi mengalami masalah gangguan jiwa.Proporsi tersebut pada remaja semakin tampak jelas. Satu dari tiga remaja Indonesia terindikasi memiliki masalah kesehatan mental. Depresi berat menjadi salah satu penyebab seseorang berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya.
Beberapa pendapat menarasikan generasi muda saat ini bagaikan stroberi. Mereka umumnya memiliki banyak gagasan kreatif. Tetapi di sisi lain mudah menyerah, gampang sakit hati, dan lebih mudah melarikan diri dari kenyataan. Penguasaan teknologi, khususnya teknologi informasi yang mereka miliki, harusnya mampu meningkatkan kreatifitas dalam memilah dan memilih ikrar politik yang realistis.
Semoga Visi-Misi Capres-Cawapres dalam pesta demokrasi 14 Februari 2024,mampu menavigasi para pemuda memilih sesuai harapan mereka.
—–o—-
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan