Saat ini relatif jarang bisa menjumpai seorang lansia (usia di atas 60 tahun) berjalan-jalan di fasilitas umum, tanpa ditemani kerabatnya.Banyak yang tidak lagi bisa mandiri melakukan aktivitas fisik.Misalnya di area car free day atau taman kota, khususnya di kota-kota besar, mayoritas hanya dipenuhi generasi muda.
Tidak mengherankan bila beritanya begitu “viral”, ketika seorang lansia asal Indonesia mampu menyelesaikan lomba spartathlon di Athena-Yunani. Tahun lalu, Maryanto, 61 tahun,berhasil menempuh jarak 246 km dalam waktu 18 jam, 56 menit, dan 38 detik. Di sisi lain, akhir-akhir ini penulis sudah semakin sering menemui kasus-kasus stroke atau serangan jantung, pada usia relatif sangat muda. Ada banyak faktor yang melatar belakangi perbedaan kedua fenomena kontradiktif tersebut. Masalahnya data epidemiologi di negara kita saat ini,menunjukkan tren meningkatnya penyakit tidak menular/PTM (misalnya sindrom metabolik, obesitas dan diabetes).Prevalensinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Khususnya pada obesitas, telah melonjak mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023, angkanya telah meningkat hingga 23,4 persen.Kondisi tersebut memantik risiko terjadinya diabetes yang dikategorikan sebagai induk dari segala penyakit, termasuk stroke dan penyakit jantung. Individu muda dengan PTM,akan sulit mencapai masa lansia dengan “sukses”.Bertambahnya usia harapan hidup (UHH), tidak akan bermakna tanpa disertai peningkatan kualitas hidup.Peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) tiap tanggal 29 Mei, merupakan ajang pembelajaran bagaimana berupaya menjadi lansia “sukses” berkualitas.
Meski telah meningkat sebesar 1,27 persen dibanding satu tahun sebelumnya, proporsi penduduk lansia Indonesia tahun 2023 “hanya” mencapai 11,75 persen. Provinsi DIY menduduki posisi tertinggi (16,69 persen), sedangkan Papua menempati peringkat terendah (5,02persen). UHH negara kita diproyeksikan telah mencapai 73,93 tahun. Peringkatnya berada pada urutan 134, dari seluruh negara di dunia. Posisi itu masih jauh di bawah Hongkong, sebagai negara dengan UHH tertinggi di dunia (85,83 tahun).UHH Singapura telah mencapai peringkat kelima dunia, dengan rata-rata 84,27 tahun.
Zona biru
Tidak hanya soal pencapaian angka, kualitas hidup seorang lansia “sukses”berkaitan dengan beberapa faktor yang saling berinteraksi. Tidak seperti dugaan semula, ternyata faktor genetika bukanlah faktor penentu utama. Kontribusinya “hanya” sekitar 20-30 persen saja. Gaya hidup, pola makan, kondisi lingkungan, dan interaksi sosial,justru merupakan kontributor yang penting. Kondisi tersebut dapat dipelajari dan dapat menjadi model terapan, sebagaiupaya menuju lansia berkualitas.
Seorang peneliti bernama Dan Buettner, telah mendedikasikan dirinya selama puluhan tahun melakukan riset diberbagai belahan dunia yang banyak dihuni penduduk lansia. Pulau Ikariadi Yunani, Okinawa (Jepang), Sardinia (Italia), semenanjung Nicoya (Kosta Rika), dan Loma Linda-California (Amerika Serikat), adalah area geografis dengan populasi yang istimewa. Mereka yang hidup di daerah-daerah tersebut,banyak yang mampu mencapai usia 90, bahkan lebih dari 100 tahun (centenarian). Hebatnya, mayoritas dalam keadaan sehat. Jarang yang mengalami demensia.Tingkat PTM-nyapun terbilang rendah.Pada peta geografi istimewa itu, sang peneliti kemudian menandainya dengan lingkaran biru. Sejak itulah dikenal terminologi “zona biru”. Banyak peneliti dari seluruh dunia yang kemudian berlomba-lomba berupaya mengungkap rahasia ilmiah, di balik tabir “kesuksesan” para lansia di “zona biru”.
Pada umumnya penduduk “zona biru” terbiasa mengonsumsi makanan nabati yang berkadar serat tinggi. Komponen nutrisi utamanya sehari-hari, terdiri dari aneka sayuran, buah-buahan, polong-polongan dan biji-bijian. Kandungan vitamin, mineral, dan antioksidannya, telah terbukti mampu mencegah peningkatan kadar lemak dan gula darah, serta mencegah kekakuan pembuluh darah.Makanan dengan kadar serat tinggi, sangat berkorelasi dengan menurunnya risiko terjadinya kanker, khususnya pada saluran cerna.Buah anggur merah yang kaya antioksidan (flavonoid dan polifenol), sering mereka konsumsi. Umumnya dibuat sebagai minuman.
Daging hanya dikonsumsi dalam momen-momen tertentu saja. Biasanya hanya seminggu sekali. Sumber protein hewani mereka, mayoritas berasal dari ikan yang kaya asam lemak omega-3. Manfaatnya penting dalam memelihara kesehatan kardiovaskuler. Sejak anak-anak, mereka juga diajari konsep menikmati makanan dengan cara yang tidak tergesa-gesa. Berhenti makan sebelum kenyang, menjadi kebiasaan penduduk “zona biru”.Kini kebiasaan unik itu, terbukti dapat menekan risiko munculnya obesitas.
Masyarakat “zona biru” juga sering menjalankan puasa secara berkala (intermittent fasting). Menurut riset, kebiasaan itu bisa memberi kesempatan sel-sel tubuh manusia untuk “beristirahat”dan membersihkan diri dari “sampah” metabolit. Secara fisiologis peranannya telah terbukti dapat mencegah proses penuaan dini, obesitas, dan terjadinya kanker.
Pola konsumsi harian masyarakat “zona biru”, sangat kontras dengan menu favorit generasi muda di Indonesia. Saat ini mayoritas anak muda menggandrungi makanan siap saji dengan minuman yang bercita rasa manis. Meski rasanya lebih nikmat dan praktis, namun kandungan kalori, lemak, dan garamnya di atas rata-rata makanan lain pada umumnya. Dalam jangka waktu tertentu,pola makan “tidak sehat” seperti itu dapat memantik terjadinya PTM dan penuaan dini.
Mungkin terkait situasi lingkungan, masyarakat “zona biru” terbiasa melakukan aktivitas fisik. Hampir semua giat kehidupan sehari-hari, dilakukan dengan berjalan kaki. Tidak mengherankan, banyak lansia di sana yang masih mampu melakukan pekerjaan harian secara mandiri. Realita itu sangat berlawanan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Menurut suatu riset, masyarakat Indonesia “dinobatkan” menduduki peringkat pertama sebagai pejalan kaki termalas di dunia. Rata-rata hanya 3513 langkah dalam sehari. Warga Hongkong melakukannya sebanyak 6.880 langkah, sedangkan rata-rata penduduk duniamencapai 4.961 langkah dalam sehari. Lift jembatan penyeberangan orang yang semula diutamakan bagi kaum lansia dan difabel, ternyata lebih banyak dimanfaatkan para generasi muda.
Ada “pelajaran” lainnya dari “zona biru”. Iklim kehidupan berbasiskan agama, interaksi sosial yang kuat, dan memiliki tujuan hidup yang jelas, sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Bagi sebagian orang, menjadi tua adalah suatu keniscayaan. Tetapi tidak semuanya akan mampu dilalui dengan sukses mencapai kualitas hidup yang baik. Semoga “zona biru” bisa menginspirasi.
—–o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan