

Setiap insan beriman tentu ingin agar amal perbuatannya diterima di sisi Allah SWT. Namun, tidak sedikit orang yang terjebak dalam rutinitas ibadah atau kebaikan yang hanya sekadar formalitas, tanpa memahami hakikatnya. Ada pula yang beramal dengan penuh semangat, namun tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Dalam kebingungan ini, muncul nasihat emas dari seorang ulama besar, Fudhail bin ‘Iyadh, yang mengingatkan kita bahwa amal yang diterima Allah bukan hanya tentang banyaknya perbuatan, melainkan tentang keikhlasan hati dan kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah SAW.
إِنَّمَا يُقْبَلُ الْعَمَلُ إِذَا كَانَ خَالِصًا وَصَوَابًا، فَإِنْ كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ، وَإِنْ كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ. وَالْخَالِصُ: أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ، وَالصَّوَابُ: أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ.
“Sesungguhnya amal itu tidak akan diterima kecuali jika ikhlas dan benar. Jika hanya ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Jika benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Ikhlas artinya karena Allah, dan benar artinya sesuai sunnah.”(Fudhail bin ‘Iyadh)
Pernyataan ini menggambarkan betapa pentingnya dua syarat utama dalam beramal: ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tuntunan Rasulullah SAW).
Nasihat ini menjadi pengingat yang sangat relevan di zaman sekarang, di mana banyak orang berlomba-lomba menampilkan amalnya di hadapan manusia, namun melupakan penilaian Allah yang Maha Mengetahui isi hati. Maka, mari kita renungkan kembali bagaimana cara beramal yang benar agar setiap kebaikan kita bernilai di sisi-Nya.
1. Keikhlasan: Hanya Karena Allah SWT
Keikhlasan adalah ruh dari setiap amal. Tanpa keikhlasan, amalan yang tampak besar sekalipun akan menjadi sia-sia di hadapan Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Demikian pula dalam hadits yang sangat masyhur:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang mukmin harus senantiasa menjaga hatinya agar tidak mengharapkan pujian manusia, popularitas, atau keuntungan duniawi dalam beramal.
2. Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW
Selain niat yang tulus, amal juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai ajaran Rasulullah SAW. Hal ini selaras dengan firman Allah:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
(QS. Al-Hasyr: 7)
Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam sabdanya:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa mengada-adakan suatu perkara dalam agama kami yang tidak ada asalnya, maka perkara itu tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, amal yang tidak mengikuti sunnah, meskipun diniatkan baik, tidak akan diterima.
3. Keseimbangan antara Hati dan Tuntunan
Nasihat Fudhail bin ‘Iyadh mengajarkan keseimbangan antara hati yang bersih dan amal yang terarah. Jangan sampai seseorang hanya mengandalkan semangat tanpa ilmu, atau hanya memahami hukum tanpa hati yang ikhlas. Keduanya harus berjalan beriringan.
Dalam praktiknya, seorang muslim hendaknya terus memperbaiki niat setiap saat dan mempelajari bagaimana Rasulullah SAW menjalankan amal tersebut, baik dalam shalat, sedekah, puasa, maupun ibadah lainnya.
Nasihat Fudhail bin ‘Iyadh tidak hanya relevan di zamannya, tetapi juga menjadi pengingat abadi bagi umat Islam hingga hari ini. Amal yang diterima bukan sekadar yang banyak atau tampak besar di mata manusia, tetapi yang dilakukan dengan hati yang lurus dan mengikuti jalan yang diajarkan Rasulullah SAW.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang menjaga keikhlasan dalam amal dan mengikuti tuntunan Nabi SAW dalam setiap langkah kehidupan kita. (ian)
*Akademisi UINSA Surabaya
Tinggalkan Balasan