

Akhir-akhir ini penulis mengamati terjadinya lonjakan penyakit alergi yang cukup signifikan. Banyak rekan sejawat yang juga melaporkan fenomena serupa. Prevalensi penyakit alergi memang meningkat tajam secara global. Data itu terekam, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Termasuk di Indonesia. Tentu menimbulkan pertanyaan, apa latar belakang penyebabnya?
Keluhan pasien terkait penyakit alergi sifatnya khas/spesifik. Sebagai contoh, dulu waktu usia anak dan remaja tidak memiliki riwayat alergi. Namun kini saat dewasa, gampang mengalami bersin-bersin. Hidungnya pun terasa buntu, gatal, dan meler. Pemicunya beragam. Tatkala sedang menyapu, bersinnya kian menjadi-jadi. Masalah yang sama bisa timbul, ketika sedang duduk santai di karpet. Bahkan saat sujud menunaikan salat. Sajadah bisa memantik gejala serupa. Tidak jarang, keluhan tersebut berlanjut menjadi sesak napas. Acap kali disertai suara mengi. Kumpulan gejala yang diuraikan tadi, merepresentasikan penyakit alergi saluran napas. Secara spesifik disebut rinitis alergi (RA) dan asma alergi (AA). Alergi bisa menimpa pada siapa pun, mulai bayi hingga lansia. Faktor genetik berperan penting.
Lonjakan prevalensi penyakit alergi bukan hanya menyasar saluran napas saja. Bisa terjadi pula akibat alergi makanan, obat-obatan, penyakit kulit alergi (dermatitis alergi), atau jenis alergi lainnya. Manifestasinya amat bervariasi. Meski “menjengkelkan”, tapi umumnya tidak berat. Namun tidak jarang berdampak fatal, hingga berisiko mengancam jiwa. Syok anafilaksis merupakan contoh reaksi alergi sistemis yang paling berbahaya.
Pada hakikatnya, alergi merupakan reaksi hipersensitif. Artinya, sistem imun merespons secara berlebihan/tidak proporsional, terhadap suatu komponen yang dianggap “asing”. Dalam contoh kasus di atas, seseorang menjadi peka berlebihan terhadap debu rumah. Substansi yang mestinya tidak berbahaya itu, direspons sebagai “ancaman benda asing”. Di lain pihak, debu rumah tidak menimbulkan masalah apa pun pada individu non-alergi. Pemicu reaksi alergi disebut dengan alergen. Selain debu rumah, makanan, obat-obatan, sabun, sengatan lebah, hingga kosmetik, ataupun perhiasan, bisa memicu respons hipersensitivitas. Masih banyak zat lainnya yang berpotensi sebagai alergen.
Pemanasan global (global warming)
Kini pemanasan global menjadi isu internasional yang memerlukan atensi semua pihak. Persoalan tersebut semakin menyeruak, ketika Amerika Serikat menyatakan keluar dari Perjanjian Paris (Paris Agreement). Padahal dulu negara Paman Sam merupakan penggagasnya. Perjanjian tersebut mengupayakan secara maksimal, agar kenaikan suhu global tidak melampaui 1,50C dibanding era pra-industri.
Terminologi pemanasan global mengacu pada perubahan iklim. Ada pula yang menyebutnya sebagai krisis iklim. Hal itu terkait dengan peningkatan suhu rata-rata udara. Atmosfer, laut, dan daratan, juga mengalami ekses yang sama. Alam tidak bisa disalahkan, tetapi lebih banyak relevansinya dengan aktivitas manusia. Efek gas rumah kaca adalah biang masalahnya. Emisi gas buang bahan bakar fosil (batu bara, bensin, solar), merupakan pemasok utama pencemaran udara. Ada kontributor lainnya. Misalnya aktivitas pertanian, industri, urbanisasi, kebakaran, dan penggundulan hutan.
Gas rumah kaca dapat ditembus sinar matahari, karena sifatnya yang transparan. Permukaan bumi menjadi panas. Sebagian gelombang ultraviolet diserap. Sebagian lainnya dipancarkan kembali menjadi radiasi inframerah yang berujung pada “terperangkapnya” panas. Muaranya memantik peningkatan suhu global dengan segala akibatnya.
Pemicu alergi
Bumi merupakan suatu sistem yang saling terhubung secara kompleks. Perubahan iklim dan pemanasan global, berkontribusi penting meningkatkan konsentrasi serbuk sari, jamur, dan spora di udara. Sirkulasi alergen musiman tersebut, menjadi lebih lama. Paparannya pada individu yang peka secara genetik, berpotensi menginduksi respons hipersensitivitas.
Intensitas panas serta berbagai polutan udara, dapat mengganggu daya tahan/barier saluran napas, kulit, ataupun saluran cerna. Akibatnya sistem imun yang tadinya toleran, bereaksi secara berlebihan (hipersensitif). Pasalnya di bawah lapisan-lapisan tersebut, banyak diisi kompartemen sistem imun. Ada dampak lainnya yang lebih signifikan. Pada saluran cerna manusia, terjadi perubahan keanekaragaman mikroba komensal. Populasi mikroba “baik”, banyak digantikan oleh mikroba “jahat” yang dapat mengacaukan fisiologi sistem imun. Akibatnya protein makanan tertentu yang semula bermanfaat, berpotensi berubah menjadi alergen.
Mengidentifikasi kemudian menghindari alergen pemicunya, masih menjadi pilihan utama tatalaksana alergi. Meski demikian obat-obatan anti alergi dan imunoterapi, sangat berguna pada kasus-kasus tertentu. Kini para ahli sedang mengembangkan pengobatan presisi, berdasarkan pola genetik individu.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan