

Tidak selalu mudah bagi saya menjelaskan apa itu autoimunitas. Kata tersebut mengacu pada proses terjadinya penyakit autoimun. Agar mempermudah pemahaman peserta didik, saya perlu menyampaikan berbagai analogi. Tingkat kesulitan saya kian meningkat, bila memberikan edukasi pada masyarakat non-medis. Kini banyak contoh kasus korupsi sedang “berbaris” di Indonesia. Saya bisa memanfaatkannya sebagai bahan analogi.
Belakangan ini publik dibuat terkaget-kaget. Sekitar seratus hari Kabinet Merah Putih bekerja, banyak diwarnai “kejutan”. “Tiba-tiba” saja ada pagar laut membentang sepanjang 30,16 kilometer. Banyak silang pendapat, sejak kapan pagar laut itu mulai didirikan di perairan Kabupaten Tangerang. Konon “baru dimulai” pada bulan Mei 2024. Namun analisis citra satelit berkata lain. Menurut Greenpeace Indonesia, pagar itu mulai dibangun sejak Desember 2023. Tak pelak desa Kohod, lokasi pagar laut itu berada, menjadi sorotan. “Anehnya”, kasus tersebut baru viral awal Januari 2025. Lebih unik lagi, “tidak mudah” menemukan siapa pemiliknya. Wajar bila kemudian muncul pertanyaan menggelitik. Bagaimana sebenarnya fungsi/regulasi pengawasan melekatnya (waskat)?
Sebelum kasus pagar laut, ramai diperbincangkan persoalan “ganjil” lainnya. Hal itu menyangkut duit Rp.271 Triliun. Beritanya diawali Maret 2024. Kali ini perkara korupsi timah jadi sorotannya. Liputannya sangat luas. Mungkin karena melibatkan suami seorang aktris cantik. Ada yang “aneh” lagi. Konon kasak-kusuk perbuatan memperkaya diri sendiri itu, dimulai tahun 2018. Namun realitasnya baru bisa terdeteksi setelah berlangsung enam tahun. Bagaimana sebenarnya regulasi waskatnya ? Maaf, pertanyaan saya sama persis, antara kasus pertama dan kedua. Tentu ada alasannya.
Saat ini publik dibuat heboh. Topiknya menyangkut kerugian negara yang “hanya” Rp.193,7 Triliun. Nominal yang diungkap itu baru terhitung selama satu tahun saja, yakni tahun 2023. Padahal kasus korupsi Pertamina, dimulai sejak tahun 2018. Secara kumulatif, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp. 968,5 Triliun. Andai kalkulasinya benar, dana super jumbo itu bisa membiayai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Kabarnya proyek besutan mantan Presiden Jokowi itu, “hanya” butuh Rp.466 Triliun. Sisanya masih sangat melimpah. Bisa membiayai program makan bergizi gratis, selama bertahun-tahun. Esensi pertanyaan saya tetap sama. Bagaimana waskatnya ? Kenapa deteksinya begitu lambat ? Andai korupsi Pertamina itu suatu penyakit, pasti sudah menginjak stadium lanjut. Komplikasi! Pengobatannya ? Tentu sangat tidak sederhana, alias semakin sulit.
Kegagalan deteksi dini korupsi, juga menimpa PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Nilainya lumayan besar. Sekitar Rp. 893 miliar. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero “tidak mau kalah”. Kini Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri, tengah mengusut dugaan korupsi perusahaan pelat merah itu. Kerugian negara diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Gelap, benar-benar akan menaungi Indonesia.
Falsafah autoimunitas
Dalam filosofi Tionghoa, ada dua sisi kekuatan dalam diri manusia. Keduanya saling berlawanan, tetapi membentuk suatu keseimbangan yang dinamis (homeostasis). “Yin” adalah sisi hitam, tetapi mengandung titik putih. Sebaliknya “Yang” merupakan sisi putih, tapi dilengkapi titik hitam. Makna filosofinya sangat dalam.
Berlatarbelakang keilmuan saya, sistem imunitas bagaikan Yin-Yang. Pada kondisi fisiologis/normal, membentuk suatu homeostasis. Pada hakikatnya sistem imun diciptakan-Nya sebagai sarana proteksi, terhadap ancaman mikroba lingkungan. Peranti kekebalan tubuh, bagaikan aparat keamanan. Terdiri dari berbagai unsur. Masing-masing memiliki tugas pokok dan fungsi yang spesifik. Semuanya telah dilatih, agar mampu mengenali dengan baik jaringan/sel-sel tubuhnya sendiri. Singkatnya, sangat paham mana teman (jaringannya sendiri) dan mana lawan (mikroba patogen).
Kegagalan “pelatihan” bisa berakibat patologis. Artinya sel-sel imun berisiko menyerang “kawan” sendiri, bagaikan menyingkirkan mikroba patogen. Itulah cikal bakal autoimunitas. Bila tidak dikendalikan (waskat!), berisiko menyebabkan penyakit autoimun. Sangat merusak dan berbahaya!
Normalnya mayoritas sel imun telah “lulus dalam pelatihan”(”retret”). Tetapi ada sebagian kecil yang gagal dan berpotensi “nakal”. Meski “nakal”, tidak lantas membuat “onar”. Pasalnya ada sel imun regulator/pengendali yang mampu bertindak melakukan waskat. Perannya selalu dominan mengekang sel-sel imun “nakal”. Tetapi akibat induksi berbagai faktor (terutama genetik dan faktor lingkungan), terjadilah kegagalan waskat imun regulator. Tak pelak, autoimunitas semakin melaju tanpa hambatan. Penyakit autoimun pun, menjadi manifes. Polanya sama persis dengan korupsi yang merajalela tanpa kendali. Seolah fungsi waskat telah lumpuh total.
Kini insiden penyakit autoimun kian melonjak. Prevalensinya sekitar sepuluh persen. Seperti juga penyakit autoimun, korupsi kian marak di Indonesia. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2024, berada pada skor 3,85. Angka itu menurun dari 3,92 , pada tahun 2023. Nilai IPAK berada pada rentang 0 hingga 5. Semakin mendekati skor 5, berarti semakin baik. Data tersebut dirilis Badan Pusat Statistik, Desember 2024.
Apakah lemahnya waskat di berbagai aspek, wujud dari kegagalan sistem regulasi ? Hal itulah yang patut menjadi bahan kajian bersama. Tidak mungkin bisa dimitigasi dengan omon-omon belaka.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan