
Oleh: Dr. Lia Istifhama, MEI. – Wasek MUI Jatim

Ada tiga perkara yang membinasakan yaitu hawa nafsu yang dituruti, kekikiran yang dipatuhi, dan seorang yang membanggakan dirinya sendiri. (HR. Ath-Thabrani dan Anas).
Hadis tersebut menjadi self reminder tentang perkara atau sifat yang membinasakan hati manusia. Direlevansikan dengan bulan suci Ramadhan, tiga sifat tersebut, seharusnya tidak nampak jikalau seseorang memang memiliki sifat bermuhasabah diri atau mengkoreksi dirinya sendiri. Hal ini disebabkan pada bulan Ramadhan, seyogyanya setan telah dibelenggu sehingga sifat dasar seseorang akan terlihat saat Ramadhan, tanpa dipengaruhi oleh bisikan setan.
Dijelaskan dalam sebuah hadis: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Apabila datang bulan Ramadhan, maka pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, serta setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari No. 1899 dan Muslim No 1079).
Dari sifat yang membinasakan hati di atas, yaitu hawa nafsu yang dituruti, kekikiran yang dipatuhi, dan seorang yang membanggakan dirinya sendiri, dapat ditarik bahwa sifat ketiga, yaitu membanggakan diri. Dalam Islam, dapat diistilahkan dengan kata riya’ atau pamer, sedangkan dalam istilah saat ini, yaitu flexing. Flexing, istilah yang nge trend dan banyak diperbincangkan, terutama setelah terbukanya kebiasaan pamer kemewahan pejabat pajak seperti Rafael Alun.
Flexing mampu membinasakan hati disebabkan sisi superior dimiliki seseorang sebagai akibat kelimpahan kekayaan yang dimiliki, sekalipun cara mendapatkannya melalui cara non halal. Bahkan flexing pun, bisa dimiliki oleh siapapun yang sejatinya hanya mampu memamerkan kekayaan yang kamuflase, yaitu samar atau tidak sesuai realita.
Mudahnya seseorang memiliki sifat flexing, tak lain disebabkan dangkalnya pengetahuan seseorang sehingga tindakan yang dilakukan tidak mencerminkan akal sehat dalam mempertimbangkan konsekuensi dan dampak atas perilakunya.
Keutamaan pengetahuan ataupun ilmu, diterangkan oleh sang Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’aridalam Kitab Adabul ‘Alimwal Muta’allim, yang menjelaskan bahwa:
“Kejarlah Ilmu ke mana pun dia pergi.Belajarlah kepada orang yang betul-betul memahaminya.Sebab dalam ilmu terdapat obat penyembuh bagi hati yang buta.Dan pertolongan dalam menjalankan perintah wajib agama.Maka bergaullah dengan para pembawa ilmu dan bersahabatlah dengan orang orang pilihan di antara mereka.Bersahabat dengan mereka adalah suatu keberuntungan.Jangan kau palingkan pandanganmu dari mereka.Karena sesungguhnya mereka adalah bintang-bintang petunjuk dimana satu hilang yang lain akan muncul.”
Dalam pesan tersebut, kita pun diingatkan bahwa ilmu akan meneduhkan hati kita dari bahayanya kebutaan hati. Orang yang mengejar ilmu, tidak akan jauh dari ajaran agama (Islam) sehingga memiliki keseimbangan dalam tindak tanduknya. Selain itu, mencintai ilmu pun akan menjadikan seseorang terbingkai dalam hubungan (social circle) yang positif.
Selain itu, ilmu juga dijelaskan oleh Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, melalui wasiatnya kepada salah satu muridnya, Kumail bin Ziyad, tentang konsekuensi dari kepemilikan ilmu maupun sebaliknya.
“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu, bahwa manusia itu terdiri dari tiga kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu, dan tidak berada pada posisi yang kuat.” (Hilyah al-Auliya).
Maka, dari wasiat tersebut, dangkal atau dalamnya ilmu akan membentuk jatidiri seseorang. Bilamana seseorang dangkal ilmu, maka seandainya seseorang tersebut dilimpahkan kekayaan, maka ia tidak akan mengetahui cara bijak mengelola kekayaan tersebut. Potret inilah yang kini menerpa banyak pihak yang diduga flexing atas uang negara, menjadi bulan-bulanan netizen.
Dangkalnya ilmu akan menyebabkan hati seseorang rusak karena hanya mengikuti hawa nafsu. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa tatkala seseorang tidak dinaungi cahaya ilmu, maka ia hanya akan mengikuti angin bertiup. Sebagai contoh jika seseorang memiliki mutual (hubungan social) dengan kelompok yang hanya menonjolkan flexing atau pamer kekayaan, maka seseorang tersebut akan terus mengikuti kebiasaan orang di sekitarnya tanpa mengetahui apakah dirinya memiliki kemampuan seperti orang di sekitarnya.
Tinggalkan Balasan