
Oleh: dr. Ari Baskoro, SpPD, K-AI, FINASIM

Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), menemukan fakta yang sangat mengejutkan. Belasan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban TPPO di luar negeri, disinyalir menjadi korban jual beli organ tubuh.
Sejatinya praktik jual beli organ tubuh manusia, bukanlah isu baru. Bahkan pada beberapa kasus yang terjadi di tanah air, ada orang-orang tertentu yang berniat menjual organ tubuhnya. Motif ekonomi yang terutama menjadi latar belakangnya.
Belum lama ini terungkap modus penjualan organ tubuh ke luar negeri, dengan kedok sebagai pekerja migran. Untuk sebuah ginjalnya, mereka diiming-imingi imbalan hingga Rp.150 juta.
Dunia kedokteran telah berkembang demikian pesatnya. Saat ini teknologi cangkok jaringan/organ, telah banyak diterapkan oleh banyak negara di dunia.
Dari sisi teknologi dan perkembangan ilmu medis, negara kita tidak ketinggalan. Cangkok jaringan/organ, khususnya cangkok ginjal, sudah rutin dilakukan dengan baik oleh tenaga kesehatan (Nakes) di dalam negeri. Persoalan klasik yang tetap menjadi kendala, terutama adalah mendapatkan pendonor untuk diambil jaringan/organnya.
Di sisi lain, saat ini terjadi “antrean” kasus-kasus yang memerlukan cangkok ginjal. Dampaknya, kebutuhan organ tubuh tersebut untuk tujuan terapi semakin meningkat. Celah persoalan tersebut bisa dibaca oleh orang-orang tertentu, sebagai “peluang” untuk memperdagangkan organ tubuh manusia.
Penyakit gagal ginjal kronik (PGK), merupakan salah satu contoh problem riil yang saat ini banyak dihadapi. Penyakit tersebut termasuk dalam kategori penyakit katastropik (berbiaya mahal) peringkat ketiga, setelah penyakit jantung dan stroke. Berdasar data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sepanjang tahun 2021, PGK telah menghabiskan dana sebesar Rp.1,78 triliun.
Bila dihitung sejak 2014 hingga 2022, bisa mencapai Rp.22,2 triliun. Mayoritas pembiayaan itu, dialokasikan untuk tindakan cuci darah yang akan berlangsung seumur hidup. Dengan tujuan meningkatkan efisiensi dari sisi pendanaan, tindakan cangkok ginjal menjadi pilihan utama. Kualitas hidup para penderitanya pun diharapkan akan jauh lebih baik, serta tidak memerlukan cuci darah lagi.
Untuk sekali tindakan cangkok ginjal yang memakan biaya sebesar Rp.378 juta, juga ditanggung BPJS Kesehatan. Sekali lagi, tantangan untuk mendapatkan pendonor ginjal, terbentur berbagai aturan hukum yang ketat.
Cangkok organ tubuh
Tindakan tersebut merupakan suatu prosedur medis. Caranya dengan mengambil organ dari seorang donor yang memenuhi syarat tertentu, kemudian dicangkokkan pada orang lain (resipien) yang memerlukannya. Tujuannya untuk memperbaiki fungsi organ tubuh resipien yang sebelumnya telah terganggu/rusak.
Banyak organ tubuh manusia yang bisa dicangkokkan. Misalnya adalah jantung, ginjal, lever, paru, pankreas, usus, tulang, dan tendon. Masih ada beberapa lagi organ/jaringan tubuh lainnya yang bisa dicangkokkan. Hingga kini ginjal merupakan organ yang paling banyak dibutuhkan. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi sudah jamak terjadi di seluruh dunia.
Cangkok organ tubuh manusia, tidak hanya menyangkut masalah medis. Dampak rentetannya bisa terkait persoalan etika, konteks sosio-ekonomi, wisata medis, dan perdagangan organ tubuh manusia. Tantangan dari sisi medis yang utama, adalah risiko terjadinya reaksi penolakan imun terhadap jaringan donor. Pasalnya, jaringan donor merupakan “benda asing” yang dianggap sebagai antigen oleh resipien. Sekalipun jaringan itu berasal dari kerabatnya sendiri yang memiliki kemiripan genetik pada komponen jaringannya. Akibatnya, respons imun resipien akan melawannya, karena dianggap sebagai “musuh”/lawan.
Dengan semakin canggihnya ilmu kedokteran, kendala itu dapat diatasi dengan penggunaan berbagai obat yang dapat menekan sistem imun. Saat ini tindakan cangkok jaringan bisa dilakukan dengan baik, meski donornya tidak memiliki kesamaan secara genetik dengan resipiennya. Hal itulah yang semakin bisa membuka peluang terjadinya peningkatan perdagangan organ tubuh manusia.
Aspek legal
Setiap negara di dunia, memiliki landasan hukum yang berbeda menyangkut cangkok organ/jaringan. Contohnya adalah Australia dan Singapura. Kedua negara tersebut melegalkannya dengan menerapkan kompensasi (misalnya dalam bentuk uang) bagi pendonor.
Harga sebuah ginjal sangat bervariasi. Diprediksi bisa menembus angka $15.000. Di pasaran resmi Iran, dihargai antara $ 2.000 hingga $ 4.000. Di pasar gelap, lever manusia bisa dihargai hingga $ 32.000 (Becker & Elias, 2013).
Amerika Serikat melalui Undang-undang Transplantasi Organ Nasional tahun 1984, melarang penjualan organ manusia. Demikian pula di Inggris Raya. Itu berdasarkan Undang-undang Transplantasi Organ Manusia tahun 1989.
Konferensi besar Eropa yang diselenggarakan pada tahun 2007, juga merekomendasikan menentang penjualan organ manusia.
Penduduk di beberapa kawasan desa miskin di Pakistan dan India, dilaporkan banyak yang hanya memiliki satu ginjal. Mereka menjualnya pada orang-orang kaya yang mungkin berasal dari negara lain. Ironisnya, mereka hanya menerima sekitar setengah dari nilai penjualannya. Justru sebagian besar uangnya, diambil oleh perantaranya (Higgins, 2007).
Tiongkok merupakan negara yang menerapkan aturan hukum yang mungkin relatif ekstrem, dibanding negara-negara lain. Praktik transplantasi organ bisa diperoleh melalui narapidana yang dieksekusi mati. Diperkirakan sebanyak 95 persen dari organ yang ditransplantasikan, dilandasi kebijakan tersebut (Kirchgaessner, 2017).
Di Jepang, perantara/pemandu cangkok organ manusia juga dilarang. Meski prosedur medis tersebut dilakukan di luar negeri, apalagi tanpa disertai izin pemerintahnya. Jepang menjadi negara dengan tingkat donasi organ terendah, di antara negara-negara maju.
Bagaimana di Indonesia ?
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2021, disebutkan : “transplantasi adalah pemindahan organ dan jaringan dari pendonor ke resipien, guna penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan”.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur mengenai kejahatan jual beli organ. Tetapi ketentuan mengenai larangan jual beli organ manusia, dapat ditemukan pada pasal 64 undang-undang nomor 36 tahun 2009.
Disebutkan pada ayat (2) yang menyatakan, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. Pada ayat (3) juga dinyatakan “ organ dan/atau jaringan tubuh, dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun”. Ancaman pidananya pun, termaktub dalam pasal 192. Bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling banyak satu miliar rupiah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan haram hukumnya, bagi seseorang yang memperjualbelikan jaringan/organ tubuh manusia. Fatwa bernomor 13 tersebut, dirilis tahun 2019. Penjualan organ tubuh manusia merupakan kejahatan yang terorganisir, serta melibatkan banyak pihak/kepentingan. Modusnya semakin relatif sulit diendus. Khususnya yang berkedok sebagai pekerja migran atau yang melibatkan sindikat perdagangan orang.
Karena itu diperlukan peran serta masyarakat secara aktif. Tujuannya agar bisa mendeteksi secara dini, suatu tindakan yang condong pada jual beli organ tubuh manusia.
Peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan wawasan masyarakat, agar dapat lebih mewaspadai praktik jual beli organ tubuh manusia tersebut.
Penulis merupakan Staf senior Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Penulis buku :
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan